Entah berapa purnama sudah berlalu, tapi saya mengingatnya seperti baru terjadi kemarin. Satu percakapan singkat lewat serangkaian pesan pendek. Pertemuan dua menit menjelang ia pergi. Lalu untuk pertama kalinya layar ponsel saya menampakkan namanya sebagai pemanggil, dan kami tak ragu bercerita tentang rasa yang tiba-tiba menyerbu hati.
Ia pergi. Lama. Dan saat ia kembali, hanya namanya yang hilir-mudik di benak saya.
Tiga, empat purnama berikutnya adalah dongeng indah: kami saling menelusuri, menjelajah, menghambur, meninggalkan jejak di mana-mana. Satu petang perdana yang melenakan. Lalu kali pertama saya menyaksikan surya terbit di wajahnya. Berulang-ulang kami menghabiskan waktu untuk bercanda, tertawa, berbicara, bercinta.
Pada satu waktu, saya menonton Il Postino, sembari sesekali melirik wajah mempesonanya yang lelap tertidur di samping saya. Satu dari jutaan momen yang saya ingat sangat jelas, yang sengaja atau tidak terus diputar ulang dalam hati.
Lalu lagu itu:
“Mi mancherai, mi mancherai, perch? vai via
Perch? l’amore in te si ? spento
Perch?, perch?…
Non cambier? niente lo so
E dentro sento te..”
“I’ll miss you, I’ll miss you, because you go away
Because the love in you is dead
Because, because…
Nothing it’s gonna change, I know
And inside of me I feel you…”
Dia memutuskan untuk pergi lagi. Meninggalkan saya. Selamanya.
“Kami” telah tiada, dan saya masih belum juga bisa melewati fase berduka ini. Saya cinta dia… dan masih merindukannya.
Malam ini, saya mengorek dalam-dalam luka yang belum kering itu, dan malah asyik berkubang di dalamnya.
Leave a Reply