(Ini lanjutan tulisan sebelumnya, Tentang MUI dan Haramnya Label Halal.)

Diskusi 28 Februari lalu di dinding Facebook-nya Yoga ternyata belum usai, kawan! Dua teman Yoga masih berapi-api mendebat pendapat saya dan Yoga. Sayang mereka tidak mau — atau tidak bisa — menjawab pertanyaan kami. Padahal kami berusaha lho merespon pendapat dan pertanyaan mereka sebelumnya.

Saya berprasangka baik sajalah, mungkin mereka sedang sibuk. Entah sibuk apa. Mungkin sibuk lari… dari kenyataan. 馃榾

Setelah respon saya yang terakhir, mereka tidak berkomentar lagi. Sedih juga kok fase serunya sudah lewat, hahaha. Tapi saya mencoba berprasangka baik lagi: siapa tahu mereka mendapat pencerahan dan mengubah pendapatnya. Siapa tahu.

Selamat membaca lagi…

—————————

  • M聽Coba bunga bandingkan dgn audit bpom, iso, haccp dkk mana ada yg hasil audit rincinya disampaikan ke masyarakat, karena masy bukan client, jadi ckp sampaikan kekurangan2 dan temuan2 ke client aja. Tapi bagi perusahaan yg berhasil lolos audit dan dpt sertifikat lppom mui publish, ini bentuk penghargaan buat perusahaan dan layanan bagi masy selaku konsumen. Sy haqul yaqin non bunga sangat2 perlu belajar mekanisme sistem sertifikasi, klo gak mau SJH boleh lah pelajarin cara kerja sertifikasi ISO, wong yg komeng Gus siapa tadi..dia juga bukan orang sistem/sertifikasi.

    Lalu sertifikasi oleh lembaga2 lain. Sy sepakat soal itu, tapi krn pencetus, penyusun, dan pemegang otoritas SJH adlah lppom mui serta juga mufti di indonesia adalah mui, maka silakan aja lembaga2 lain mengajukan diri sbg lembaga sertifikasi tapi tetap harus di bawah lisensi lppom mui. Sama lah spt lembaga sertifikasi di Aussy itu yg minta lisensi dr lppom mui. Nah klo lembaga lain yg diharapkan ikut bagian dlm sertifikasi halal aja gak bikin divisi khusus utk pekerjaan ini, gimana mau jadi lembaga sertifikasi?? Gak gampang loh utk jadi lembaga auditor dan sertifikasi, mereka harus punya sdm yg ngerti halal haram, ngerti proses produksi, ngerti teknologi, ilmu kimia, punya laboratorium uji (uji kompleks) dll

    Betul mui tentu punya kekurangan, dan kekurangan itu perlu dibenahi secra berkesinambungan,, continous improvement. Tapi kekurangan tempo adalah hanya dg pertanyaan2 kritis, atau melihat sedikit kekurangan tapi berani melontarkan tuduhan besar,, sy tidak melihat ini masalah yg sbegitu besarnya, mungkin hanya tempo aja yg membesar2kan. Contoh tadi bunga lontarkan pertanyaan kira2 “yakin dana2 itu dikembalikan ke masy?” Ini kan cuma pertanyaan kritis, klo kau tau ya jadikan mui sbg narasumber, trus soal mengapa 1 lembaga dpt sertifikat dan lembaga lain ditolak,, ya mestinya tanya aja lppom yg mengaudit, kan ada laporan auditnya, klo tnya lembaga yg ditolak ya jelas mereka merasa keberatan dan wajar klo mereka merasa sdh sesuai standar. Knp tempo lbh milih jadikan pihak ditolak sbg narasumber? Ya spy rame kan, dan yg mau ditembak memang mui nya bukan cari kebenarannya
    1 March at 06:17聽路聽Like
  • Bunga Manggiasih聽Pendapat Gus Syafiq menarik justru karena posisi LPPOM MUI yang tidak sama dengan BPOM, ISO, HACCP. Tiga sertifikasi/lembaga sertifikasi itu tidak punya tanggung jawab keagamaan, mereka murni bergerak di bidang sertifikasi, urusan dunia saja. Beda dengan LPPOM MUI sebagai bagian MUI, yang mengurusi tak cuma dunia tapi akhirat. Perusahaan yang mengajukan permintaan label halal bisa saja disebut klien, tapi penganut Islam apa bukan klien MUI juga? Apa salah kalau MUI lebih terbuka soal proses auditnya, selain sekadar mengumumkan nama produk yang lolos mendapatkan sertifikat halal?

    “soal mengapa 1 lembaga dpt sertifikat dan lembaga lain ditolak,, ya mestinya tanya aja lppom yg mengaudit, kan ada laporan auditnya,.. Knp tempo lbh milih jadikan pihak ditolak sbg narasumber?”
    Laporan Majalah Tempo mengutip juga pernyataan Ketua MUI Amidhan dan Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim. Wawancara kedua petinggi MUI itu dimuat dalam dua halaman, lho. Belum baca?
    1 March at 06:38聽路聽Like
  • M:聽Lppom mui adlh lembaga independen dibawah koordinasi mui bukan dibawah instruksi mui. Lppom pelaksana penyuluhan dan audit halal, kemudian laporan lppom disampaikan kpd mui utk menjadi fatwa (lebel halal). Betul lppom terima dana apbn, brp besarnya dan buat apa kegunaannya? Klo blm tau coba tempo cari tau, gak susah kok dpt data dan narsumnya. Cm dikit info aja, dana tsb utk penyuluhan dan subsidi sertifikasi halal UKM, krn UKM digratiskan. Apa lembaga Aussy iyu tmsk UKM?? Tentu tidak..!!!

    Sejak bertahun2 lalu dibahas RUU SJH di dpr tapi belum jg diketok palu krn tarik menarik kepentingan antara mui dg swasta. MUI keukeuh agar audit dan sertifikasi hanya dilakukan oleh lppom krn masalah halal haram lebih krusial drpd sekedar sistem manajemen mutu shg tidak bisa dilepas begitu saja pd swasta. Waktu itu sy kerja di perush konsultan ISO, dan kantor sy salah satu yg berusaha melobi sana sini agar auditor dan sertifikasi halal bisa dilepas jg ke swasta. Hal yg sama jg dilakukan konsultan dan lembaga sertifikasi lain baik dlm dan luar spt sgs, tuv, sucofindo dll. Apa kepentingannya? Semata2 bisnis…krn pasar pangan halal sangat besar di indonesia.

    Sy gak tau apakah berita ini pesanan atau nggak, yg jelas berita ini akan disambut sorak gembira oleh lembaga auditor dan sertifikasi swasta, daj mereka akan berterimakasih banyak pada tempo… selamat !聽

    Jika sertifikasi halal dilepas ke swasta, jangan berharap biaya sertifikasi semurah sekarang, krn kepentingan mereka semata2 adlh bisnis dan keuntungan
    1 March at 08:09聽路聽Like
  • Y聽1. Ada gk perkumpulan Ulama di Indonesia selain MUI? Tolong sebutkan.
    2. Apa yg diinginkan masyarakat seperti kamu dalam proses audit halal?
    1 March at 10:43聽路聽Like
  • Bunga Manggiasih聽@M: sekadar informasi saja, sumber Tempo pernah melaporkan kasus ini ke KPK, tapi KPK bilang tidak bisa mengusutnya karena MUI bukan penyelenggara negara. Si sumber lantas berpaling ke Tempo. Tuduhan bahwa ini berita pesanan tidak menyelesaikan masalah mendasarnya, yg saya tak tahu Anda paham atau belum setelah sebanyak ini saya menanggapi: integritas petinggi MUI yang, kalau tidak rendah, patut dipertanyakan.

    Memang industri halal ini besar sekali potensi bisnis dan juga korupsinya. Saya berpendapat tak ada salahnya kalau ada lembaga lain yg melansir sertifikasi halal. Justru yang bahaya kalau MUI memonopoli sertifikasi halal, karena tidak ada pesaing berarti mereka bisa sewenang2 menentukan harga layanannya. Kalau ada pesaing, malah bisa jadi ongkos sertifikasi lebih murah, karena lembaga sertifikasi harus bersaing menjual layanannya. Lembaga2 itu juga seharusnya mau menjalani audit dan transparan pada publik karena itu adalah nilai jual tambahan. Ini teori ekonomi yg sangat mendasar dan telah terbukti di mana2. Kita seperti juga negara maju punya UU Anti Monopoli, jadi tak ada alasan legal yang kuat untuk mempertahankan posisi MUI sebagai pemain tunggal sertifikasi halal di Indonesia. Atau Anda punya argumen lain?

    Anda tidak menjawab pertanyaan saya: apa penganut Islam bukan klien MUI juga, sehingga tidak berhak tahu bagaimana rincian proses sertifikasi halal LPPOM MUI?

    Y: NU, Muhammadiyah, Persis, dsb adalah organisasi2 yg tidak saja dihuni para ulama, tapi juga umat yang tidak mengaku2 dirinya ulama. Saya menilai mereka punya legitimasi juga kalau mereka mau ikut melansir sertifikasi halal. Tentu mereka harus punya kapasitas dan kompetensi untuk itu, dan perlu waktu untuk menyamai level LPPOM MUI yang sudah memulainya sejak beberapa dekade lalu.

    Saya ingin proses sertifikasi halal yang dilakukan dengan sungguh2, transparan, akuntabel, dan berintegritas. Secara teknis, lembaga sertifikasi seharusnya punya laboratorium memadai dan orang2 yang kompeten — saya tidak meragukan MUI dan LPPOM MUI dari segi ini. Dari segi integritas, para pemangku kepentingan sertifikasi halal semestinya punya integritas tinggi: tidak meminta suap, tidak menerima uang/hadiah/janji di luar ketentuan meski ia tak memintanya. Apa yang Anda inginkan, kalau kita punya keinginan berbeda?
    1 March at 13:09聽路聽Like
  • Y聽Hahhaha.. Ok deh.. Kamu memang belom paham apa itu MUI.. Masih membawa-bawa nama NU, Muhammadiyah, dll utk disandingkan dengan MUI.. Ok deh.. Cukup yee.. Pengetahuanmu masih cetek ternyata…
    1 March at 13:17聽路聽Like
  • M聽Iye iye susah juga klo ndak paham posisi ya bro聽Y, udah dijelasin panjang lebar gak mudeng, dikasih link klo mw tau gmn proses sertifikasi ndak mau cari tau juga, pdhl bagi wartawan gampang banget cm sekedar cari info begituan,, yah sudahlah biar redaktur tempo hanya orang2 yg belum paham dan ndak mau paham…. wassalam
    1 March at 16:22聽路聽Like
  • M聽Klo boleh kasih masukan buat tempo….pertanyaan kritis adlah sarana utk mengetahui lbh banyak, caranya dgn mencari tahu dgn niat yg lurus,, pertanyaan kritis bukan alasan utk melontarkan tuduhan dan fitnah,, jika benar punya bukti ya sampaikan aja secra hukum
    1 March at 16:26聽路聽Like
  • Gabriel Yoga聽Wah, sudah panjang rupanya perjalanan diskusi di dinding ini.


    Biaya miliaran yang mungkin dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan sertifikat ISO karena ini berkaitan dengan citra produk dan bisnis. Auditornya pun berasal dari perusahaan yang memang menjual jasa untuk mengaudit.聽

    Sementara MUI memberlakukan honor auditor US$ 115 per hari. Tapi standar biaya sertifikasi tak jelas. Amidhan mengatakan sertifikasi halal gratis, tapi perusahaan yang diaudit harus membantu syiar di lingkungannya. Inilah celah yang bisa diselewengkan. Ada potensi untuk mempermainkan biaya sertifikasi karena memang tak ada angka resminya. Dalam hal ini tidak ada yang mengawasi MUI.聽http://www.tempo.co/…/DPR-MUI-Tak-Bisa-Monopoli…

    Posisi LPPOM MUI jelas tidak bisa disamakan dengan lembaga auditor macam BPOM, ISO, HACCP. Merujuk ke pendapat Bunga, dasar pemberian sertifikat halal antara LPPOM MUI dan lembaga lain sudah berbeda.聽

    Hal lainnya, cuma di Indonesia ada organisasi masyarakat yang punya otoritas luar biasa untuk mengeluarkan sertifikat halal. Ini bisa menimbulkan peluang monopoli padahal sertifikasi halal itu berhubungan dengan kepentingan publik. MUI selama ini belum pernah melaporkan jumlah pendapatan mereka dari sertifikasi halal. Maka pemerintah berniat merapikan administrasi sertifikasi halal melalui undang-undang supaya hasilnya bisa dipertanggunjawabkan karena yang menjalankan adalah lembaga negara. Biaya sertifikasi pun bisa masuk ke kas negara.聽http://politik.news.viva.co.id/…/484944-dpr–mui-belum…

    Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan otoritas tunggal lembaga sertifikasi bisa memicu kecemburuan ormas lainnya. Menurut Suryadharma, seharusnya memang pemerintah yang melakukan sertifikasi halal itu.http://nasional.news.viva.co.id/…/485046-menkes–di…

    Menurut saya, lembaga ideal untuk urusan sertifikasi halal ini adalah bisa jadi gabungan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Agama, MUI, Kementerian Kesehatan. MUI sekedar menetapkan standar halal sementara sertifikat halal diterbitkan oleh lembaga negara. Ini jelas akuntabilitasnya. Kalau ada yang tidak beres, seperti suap atau korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa langsung menanganinya. Sistem pengawasan berjalan.

    Hal yang menarik adalah sejauh mana MUI berani menerapkan sistem transparansi dalam sertifikasi halal ini karena mereka mengurusi produk yang digunakan publik. Soal status lembaga MUI, mereka tetap dalam kategori organisasi masyarakat karena bukan lembaga negara. Mereka tunduk pada undang-undang yang berlaku di Indonesia.聽

    Mengenai ulama, saya sepakat mereka orang yang harus dihargai. Bukan cuma di MUI, NU, Muhammadiyah, Persis juga organisasi tempat berkumpulnya para ulama hebat. Buat saya, mereka itu seperti guru. Mereka punya pengetahuan yang luar biasa. Tapi kita perlu tetap kritis terhadap mereka, tidak menelan mentah-mentah apa saja yang mereka produksi. Lebih menyakitkan ketika figur yang dihormati justru melakukan perbuatan yang merugikan publik.聽

    Omong-omong, langsung menyebut pengetahuan orang lain sangat cetek dalam sebuah diskusi justru menunjukkan kelemahan dalam menyatakan pendapat. Sama-sama belajar, tapi janganlah sampai mengeluarkan klaim bahwa pengetahuan orang lain lebih rendah. Ukuran pengetahuan itu tak ada batasnya.
    1 March at 22:28聽路聽Edited聽路聽Like聽路聽1

  • Y聽See.. Masih menyamakan MUI dng NU dan Muhammadiyah.. Hahahha.. Ok sipppp… Gw ngaku Lemah gw emang.. Capek ngadepin org2 seperti kalian… Gk kuat euy.. Ok skip..
    1 March at 16:59聽路聽Like
  • B聽Y: tolong dibaca lagi pernyataan saya yg menjawab pertanyaan Anda. Anda bertanya kepada saya perkumpulan ulama lain apa yg ada di Indonesia selain MUI. Saya menjawab ormas Islam lainnya pun beranggotakan ulama. Saya tidak menyamakan MUI dengan NU,聽Muhammadiyah, dan Persis. Logika Anda melompat di sini.

    MUI punya beban sejarah politik karena didirikan rezim Soeharto dan dikooptasi penguasa saat itu. Soeharto jatuh, tokoh2 DDII masuk, MUI makin konservatif. Silakan baca di聽http://www.fahmina.or.id/…/281-peran-mui-pasca-soeharto…聽(saya khusnudzon sedari kemarin Anda menyempatkan diri membaca pranala/link yang saya salinkan di sini).

    Beban politik NU yg paling besar mungkin keikutsertaan mereka dalam pembunuhan orang2 yg dituduh komunis thn 1965, tp kemudian mereka terbukti sangat Indonesia dan toleran pada keberagaman. Sedangkan Muhammadiyah menempatkan diri sebagai ormas muslim kelas menengah dan berpendidikan. Sejauh ini saya lebih percaya ulama kedua organisasi ini ketimbang MUI, meski MUI juga beranggotakan ulama dari NU dan Muhammadiyah. Ini hak saya, dan hak Anda pula untuk berbeda pendapat.

    Eh, Anda tak menjawab pertanyaan saya. Anda punya keinginan berbeda soal sertifikasi halal atau tidak?

    Oya Anda tadi malam bilang tak mau melanjutkan diskusi lagi. Senang deh Anda berubah pikiran dan kembali bertukar pikiran di sini. Terima kasih.

    M: link yg mana maksud Anda? Saya membaca kok soal surat yg diaku dari HFCE itu, juga tentang proses sertifikasi. Tapi kesimpulan saya bisa kan berbeda dengan Anda. Makanya kita berdiskusi di sini.

    Anda pun tak menjawab pertanyaan saya tentang apa penganut Islam bukan klien MUI, serta apa Anda lebih memilih MUI memonopoli sertifikasi halal atau tidak.
    1 March at 18:23聽路聽Like
Komentar via Facebook | Facebook comments