Melepas Komik dengan Ikhlas

1.575 buku — sebagian besar komik — yang tadinya ada di rumah orang tuaku di Jogja, kini sudah diadopsi orang lain.

Salah satu pengadopsi, komika andal Sakdiyah Ma’ruf (waw mimpi apa aku bisa saling DM dengan orang hebat seperti dia!), bertanya: kenapa aku rela melepas komik, apalagi banyak yang tergolong langka dan incaran kolektor?

Hm, pertanyaan menarik. Sebelum menjawabnya, aku ingin cerita soal komik dalam hidupku.

Aku lupa kapan tepatnya kenal sama komik. Mungkin waktu rebutan baca koran Kompas sama si Ayah — kartun strip hari Minggu selalu kutunggu-tunggu. Bisa jadi saat main ke rumah Pak Madna, penjaga kantor ibuku yang tinggal di bagian belakang kantor.

Ayah dan ibuku sering membawaku ke kantor mereka sewaktu aku TK — iya, tampangku dulu seimut foto di bawah ini. Di rumah Pak Madna, aku ingat ada beberapa komik Asterix milik anaknya. Aku pernah baca Asterix di sana tapi nggak merasa tertarik. Maklumlah, kan itu komik dewasa yang banyolannya politis. Anak tiga tahun yang nggak ngerti konteks ya mana doyan.

Masa foto harus dicuci dan dicetak. Kamu tahu nggak afdruk itu artinya apa?

Saat kami pindah ke Kendari, anak teman ayahku punya koleksi komik Mahabharata dan Bharatayudha karangan RA Kosasih. Seingatku, serial komik itu kupinjam dan kubaca hingga tuntas. Tapi, komik belum mendapat porsi penting dalam hidupku, sampai…

Candy-candy diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Harganya cuma Rp2.800, dibelikan ibuku di Hero. Saat itu, kami tinggal di Makassar. Aku juga nggak paham alasanku tertarik betul sama si Candy. Mau bilang karena ceritanya relatable, ya nggak juga karena settingnya Candy-candy adalah Amerika Serikat awal abad ke-20; kalau karena cerita cintanya, kayaknya sih waktu itu aku belum naksir cowok sama sekali; sebagai sarana lari dari kenyataan, lah hidupku sebagai bocah SD baik-baik aja. Apalagi pas kemarin kubaca ulang, terjemahannya bikin pusing dan ceritanya uwuwuuu klise sekali. (Bahkan karakter Candy ini sekarang semacam trope dalam cerita: tokoh perempuan yang miskin dan hidupnya penuh tantangan, tapi ceria dan semangat bekerja, sehingga sukses mendapat pujaan hati dan nggak miskin lagi deh.) Tapi yah, namanya juga jatuh cinta, nggak harus ada alasan jelasnya kan?

Sejak Candy-candy terbit, aku mengoleksi banyak komik Jepang alias manga. Nggak semua judul sih, bisa bangkrut kan si ibu hehehe. Biasanya, orang tuaku mengajukan syarat tiap aku meminta dibelikan komik. Misal, belajar, potong rambut, atau beberes rumah. Kebanyakan yang kubeli (dengan uang orang tua) adalah komik shoujo. Favoritku waktu SD hingga SMP ialah serial balet Mari-Chan dan Sailor Moon.

Saat masuk SMP, koleksi mangaku sudah lumayan banyak. Jumlahnya memenuhi dua rak bertingkat tiga di rumah kami, seperti terlihat di foto di bawah ini (mohon maaf, tampangku sudah jadi amit-amit, nggak imut-imut lagi — oya, yang di kananku itu Katrin, sahabatku waktu SD di Jogja).

Jangan tanya kenapa ekspresiku meh begitu. Mungkin sedang lelah.

Demi memenuhi hasrat beli lebih banyak komik, aku memutuskan menyewakan komikku ke teman-teman di sekolah dan tetangga. Harganya lupa. Tapi lumayanlah buat nambah manga. Ini juga terbantu dua kawan yang jadi “agen” persewaan komik di kelas dan sekolahnya. Persewaan komik ini jalan terus sampai aku SMA. Karena penyewanya teman sendiri atau temannya teman, sirkulasi komik relatif lancar. Nyaris nggak ada komik lenyap, dan tak ada yang berani menunggak uang sewa.

Ketika kuliah, beli komik jalan terus, tapi persewaannya tutup. Soalnya, sudah keburu sibuk sama agenda belajar dan pacaran. Maklumlah, anak muda~ Tapi, kalau ada kawan mau pinjam komik, kadang kupinjamkan dengan sederet persyaratan serupa mantan persewaan: nggak boleh ada halaman kotor maupun dilipat, dan harus dikembalikan tepat waktu. Kalau syarat ini dilanggar, peminjamnya harus mengganti dengan komik yang baru.

Gara-gara cinta komik, di akhir masa kuliah, aku memutuskan bikin skripsi soal komik juga. Bukan komik Jepang sih. Waktu itu aku memilih komik Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! karya Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa. Metodenya ambisius karena pakai dua: semiotika terhadap komiknya, sekaligus etnografis terhadap pembacanya. Kalau dipikir ulang sekarang sih, ngawur bener aku dulu. Pakai dua metode ya hasil analisisnya bisa dibilang dangkal, karena waktu mepet. Berkat kerja sama ciamik enam informan (penulis buku plus empat pelajar) dan Mas Budi Irawanto, dosen pembimbingku, untungnya skripsi kelar dan aku bisa lulus.

Masalahnya, setelah lulus kuliah, aku pindah mengadu nasib, eh, rekening ke Jakarta. Komik yang jumlahnya sudah lebih dari seribu jelas nggak bisa dibawa pindah (mau ditaruh di mana coba, hahaha). Jadilah ibuku yang dapat beban merawatnya (waktu itu, ayah juga ngamen di Jakarta). Ibuku pernah mengusulkan membuka perpustakaan untuk anak-anak di sekitar rumah, tapi aku nggak mau karena takut buku rusak. Di Jakarta, aku hanya beli sedikit komik karena makin banyak situs menawarkan scanlation.

Belasan tahun komikku mangkrak di Jogja. Debu makin bertumpuk. Kalaupun aku pulang ke Jogja, rasanya malas membersihkannya. Beberapa komik kadang kubaca, tapi sisanya hanya mendekam dalam rak.

Pandemi membuat banyak perubahan di dunia ini, termasuk pada cara pikirku. Saat akhirnya bisa ke Jogja lagi setelah sembilan bulan berlalu, aku memandangi rak komikku yang penuh dan berpikir: untuk apa kusimpan komik sebanyak ini, kalau tidak sering kubaca? Mengapa aku tega membebani ibuku merawat ribuan komik itu? Mengapa aku pelit berbagi hal yang kusuka itu dengan orang lain?

Lalu kuputuskan, sudah saatnya berpisah dengan komik-komik itu. Sejumlah novel remaja, jumlahnya mungkin hanya sekitar 100 jilid, kulepas juga sekalian. Ikhlaskan saja, siapa tahu ada yang mau. Aku memotret sebagian kecil komikku dan mengunggahnya ke Instagram untuk diadopsi orang lain. Aku kaget juga, kok responnya membludak. Orang-orang asing maupun sanak saudara adu cepat memesan komikku. Beberapa kawan yang mengelola rumah baca juga ikut antre.

Terpujilah para petugas pengemas barang toko online. Aku cuma melakukan ini tiga hari, dan encok menyerbu.

Proses adopsi ini lumayan menantang karena membuatku membuka pintu rumah buat orang asing, juga melelahkan karena harus mengemas 24 paket plus mengirim 2 paket via kurir dalam kota. Tapi, respon manis para pemilik baru komik-komik itu sungguh membuatku terharu. Ternyata, banyak orang mengaku bahagia dengan “harta karun” baru. Ah, seharusnya aku melakukan ini dari dulu.

Jadi, kenapa aku melepas komik-komik itu? Pendeknya, supaya kebahagiaan yang dulu kurasakan bisa dialami juga oleh orang lain, sekalian mengurangi beban ibu tersayang. Gitu aja.

Oya, nggak semua komik di Jogja kulepas. Doraemon dan Swan kubawa hijrah ke Jakarta Depok. They still spark my joy.

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

2 Comments

  1. Luar biasa, Bunga. Saya mau melepas buku-buku masih ragu-ragu. Membaca tulisanmu aku jadi pengin mencontoh juga. Lepaskan dengan ikhlas. Mungkin saat ini ada juga yang butuh isi dari buku-bukuku tersebut. Thanks for sharing yaaa..

    • Wah, senang sekali kalau ceritaku ini bisa memicu Mbak Wiwin melakukan hal serupa. Daripada bukunya nganggur aja di rumah, kan 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *