Menonton kematian KPK bikin dada sesak, sembari kalut memikirkan bagaimana lagi kita harus bertindak.
[Ada sedikit spoiler, nggak usah terus baca kalau anti-spoiler 😁]
Malam ini saya ikut nonton bareng The Endgame, film dokumenter terbaru Watchdoc, bersama kakak-kakak Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA).
Sejumlah pegawai KPK yang nggak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berbagi ceritanya dalam film ini. Sebagian besar cerita mereka barangkali nggak asing buat kamu yang mengikuti kontroversi tes ngadi-ngadi ini.
Ada soal keajaiban dalam TWK seperti harus menyatakan setuju/tidak setuju terhadap kalimat “Semua orang Cina sama saja” dan menjawab pertanyaan semacam “Apakah kamu punya pacar? Apakah kamu akan menikah dengan dia?”. Juga tentang penolakan pewawancara memberi tahu nama dan asal instansinya, serta nggak adanya rekaman saat wawancara.
Para narasumber juga menyatakan kebocoran Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK paling banyak terjadi saat Firli Bahuri menjabat Deputi Penindakan. Kalaupun sekarang masih ada OTT, itu sisa kasus lama atau, “Sisa-sisa rahmat Tuhan saja,” kata salah satu dari mereka.
Ada pula sekelumit cerita soal latar belakang pegawai tak-lolos-TWK yang beragam: lulusan Teknik Sipil, mantan jurnalis, bekas pegawai BUMN, penganut agama Buddha, Islam, Kristen (“Saya bukan Taliban, tapi Saliban,” ucapnya).
Setelah wawancara yang panjang, akhir film ini untuk saya jadi bagian paling menohok: para narasumber lewat internet menonton siaran langsung pelantikan kawan-kawannya yang lolos TWK KPK. Perih, Kak.
Nggak kalah perihnya adalah hati kami yang menonton, lalu berbincang pendek soal rasa frustrasi terhadap upaya sistematis membunuh KPK. Soal lemahnya masyarakat sipil dalam menolak konspirasi jahat itu — kita tahu Jokowi yang terpilih dua kali sebagai Presiden itu, tak seperti SBY, tampaknya nggak peduli sama opini publik. Demo gede 2019-2020 dicuekin tuh. Aturan pandemi dijadikan pembenaran menangkapi mereka yang bersuara kritis. Narasi anti-Taliban sebagai dalih TWK KPK dikampanyekan dengan rapi oleh pendengung pro-kebijakan abal-abal, ditelan mentah-mentah oleh penggemar fanatik Jokowi korban polarisasi politik residu 2014-2017-2019.
Lalu kita bisa apa untuk membalikkan keadaan?
Kita tahu tindakan individu rakyat jelata macam “mulai dari lingkungan terdekat dulu” nggak sebanding dengan upaya kongkalikong para petinggi penggarong uang rakyat (hm, persiapan jelang 2024?). Tapi kita tahu juga selain para aktivis antikorupsi yang vokal, anak muda ternyata mau bergerak dan turun ke jalan, setidaknya dari yang kita lihat pada 2019 dan 2020.
Dalam situasi acakadut kayak sekarang, kita nggak punya privilese untuk bodo amat. Taruhannya masa depan kita semua, termasuk generasi mendatang yang belum lahir, yang bisa jadi hanya kebagian Indonesia rusak politiknya dan lingkungannya — ya kan korupsi, terutama terkait sumber daya alam, jelas memperparah krisis iklim, Bund 😭
PR besarnya ialah cara menggerakkan lebih banyak rakyat sebagai kelompok penekan yang berdaya, mencari sekutu di gelanggang politik yang sudah telanjur berlumpur, juga mendidik calon politisi yang bersih dan berintegritas. Apa kamu punya ide cara yang pas buat melakukannya?
Kalaulah KPK sekarang mati, semoga ia bagai phoenix yang baru saja terbakar habis menjadi abu. Cuma, berapa lama nih si phoenix ngendon jadi abu, sebelum terlahir lagi dan kembali berapi-api?
Anw, kamu bisa tonton The Endgame di sini:
Leave a Reply