Saweran Dana Anak Bangsa

Sudah sering kita dengar ide cemerlang di Indonesia terpaksa mati gara-gara kekurangan dana. Yang bertahan memang hanya yang bisa kreatif mengumpulkan duit, entah dengan cara cerdas atau cara keras. Lantas ke mana si pencetus ide harus berpaling?

Beberapa jam lalu, seorang kawan mengontak saya di Facebook. Dia terpilih untuk ikut konferensi tentang kampanye sosial. Acaranya empat pekan di Amman, Yordan. Sayangnya, penyelenggara nggak menanggung ongkos bagi peserta di luar wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.

Biaya yang diperlukan si kawan ini tentu lumayan gede, mulai dari tiket pesawat, akomodasi, dan terutama bayar konferensinya: US$ 1250 aja! Apalagi, acaranya bakal dimulai tanggal 24 Juni. Artinya dia cuma punya waktu satu atau dua minggu untuk ngumpulin uang. Tiket pesawat juga kan makin mepet makin mahal harganya.

Saya pikir, nekat juga dia. Saya sendiri seumur-umur nggak pernah daftar acara yang nggak menyediakan dana buat pesertanya, hahaha.

Balik ke kisah si teman tadi, saya nggak punya banyak saran. Er.. mungkin minta ke kampus? Orang tua? Sanak saudara?

Saya ingat ada kickstarter, peerbacker, Kiva, dan macam-macam situs web crowdfunding. Crowdfunding, bisa kita terjemahkan sebagai pendanaan keroyokan alias saweran, ialah metode mengumpulkan uang dari masyarakat — orang yang kita kenal maupun tidak kita kenal — untuk membiayai proyek tertentu.

Setelah minta wangsit dari mbah Gugel, ternyata ada juga lho versi Indonesia! Saya merasa terharu sekaligus seperti ketinggalan berita, ihiks. Ada Wujudkan, Patungan, dan Gagas, yang semuanya menerapkan seleksi bagi pengusung ide. Maksudnya, nggak semua ide bisa lolos, tapi disaring oleh suatu tim khusus. Ketiganya juga mengharuskan si empunya ide untuk memberikan imbalan bagi penyumbang dana. Pemilik proyek pun wajib memberi laporan perkembangan mutakhir penggunaan uang yang terkumpul. Saya pikir situs web seperti itu bagus banget untuk menumbuhkan kewirausahaan sosial sekaligus kreativitas kita. Untuk membuktikan Indonesia bangsa yang beradab dan nggak mudah putus asa. 🙂

Ada 13 proyek yang kini terpajang di laman utama situs ini. Wujudkan memotong lima persen dana yang terkumpul sebagai komisi fasilitator. Dana ditransfer melalui rekening Bank CIMB Niaga atau BCA. Pemilik ide diberi waktu tiga bulan untuk menggalang dana. Dari lamannya, situs tersebut fokus ke industri kreatif. Wujudkan didirikan oleh Mandy Marahimin, Dondi Hananto, Wicak Soegijoko, dan Zaki Jaihutan — saya nggak pernah dengar nama mereka sebelumnya, mungkin saya nggak gaul ya, hehehe. Salah satu proyek yang sudah sukses menjaring dana adalah Atambua 39 derajat Celcius, film garapan Mira Lesmana dan Riri Riza tentang Timor. Dari target Rp 300 juta, yang terkumpul Rp 313 juta.

Situs yang satu ini menampilkan sepuluh ide di lamannya. Nilai proyek yang diajukan maksimal Rp 100 juta. Para patron bisa menyumbang via BCA dan, dalam waktu dekat, PayPal. Penggagasnya, aikon, bekerjasama dengan sederet organisasi lain seperti Grafisosial, Hivos, Institut Sejarah Sosial Indonesia, Rujak, dan Yayasan Ruang Rupa. Laman FAQ-nya memuat kriteria “tidak layak”, misal: proyek yang tidak memiliki nilai artistik, tidak berguna bagi publik, tidak mendorong adanya perbaikan dalam masyarakat, pendanaan partai politik, gerakan ideologi, agama atau sekte; berpotensi rasis, kekerasan, kasar, fitnah, kejahatan perang, pedofil, atau yang menghasut pembunuhan, bunuh diri, diskriminasi, atau benci; yang mengambil konten berhak cipta tanpa izin; dan… yang paling penting: proyek yang muncul di situs penggalangan dana lain. Artinya, kalau mau mejeng (alah mejeng!) di Patungan, ya cuma boleh di situ aja, nggak boleh di situs web lainnya. Maunya eksklusif, kayak Tempo aja. *eh

Tampaknya paling junior ketimbang dua situs di atas. Baru satu proyek yang nampang di laman utamanya. Gagas lahir dari hasil kumpul para aktivis politikana.com, tapi nggak sama dengan Politikana, Gagas sepertinya nggak tergabung dengan jejaring salingsilang.com yang makin lama makin ramai. Sepintas tak banyak aturan terlihat di situs yang membagi proyek ke bidang sosial, bisnis, dan politik itu. Sistemnya agak berbeda daripada Wujudkan dan Patungan. Donatur diminta mengisi saldo Gagas dengan mentransfer ke rekening Bank Mandiri atau BCA. Dari saldo itu, barulah penyandang dana memutuskan menyokong berapa banyak dan untuk proyek apa.

Selain tiga platform (apa ya bahasa Indonesianya?) itu, saya menemukan juga proyek yang menerapkan dana saweran di situs webnya sendiri. Judulnya Linimas(s)a 2, film dokumenter tentang bagaimana masyarakat Indonesia meski berhadapan dengan keterbatasan, mampu memberdayakan diri dengan menggunakan Internet.

Kembali lagi ke si kawan yang ingin ikut konferensi nan mahal. Saya sarankan dia mencoba situs-situs dana keroyokan. Siapa tahu laku. Kalau kamu juga mau bantu, saya bisa memberikan kontaknya.

Edit: belakangan saya nemu juga Bursa Ide, situs web milik Pesantren Wira Usaha Daarul Muttaqqin — mungkin pionir situs crowdfunding Indonesia ya. Sayang sepertinya nggak di-update, blog terakhirnya setahun lalu.

Edit 2: penggagas Gagas pun masih mencari tambahan saweran untuk meluncurkan situsnya.
Baru tahu ternyata tahun lalu sempat ada ide untuk bikin Chordeo, yang seharusnya jadi situs crowdfunding pertama di Indonesia, tapi bubar sebelum dilansir.
Pembuat film Demi Ucok juga sedang menggelar crowdfunding supaya filmnya bisa ditayangkan di bioskop.

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

1 Comment

  1. Ayah

    Tentu saja usaha pertama (dan terakhir) minjem sama ortu! Ha.ha.ha!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *