Senarai Cerita Penjelajah Eropa

Judul: Beasiswa Erasmus Mundus: The Stories Behind
Pengarang: Dina Mariana dkk
Tebal: 193 halaman
Tahun terbit: 2011
Penerbit: Kurniaesa Publishing

Meutia Zahara, mahasiswi asal Aceh, tak sanggup menahan tangis saat menjejakkan kaki di Italia pada tahun 2008. Ia ingin sekali bisa berbicara dengan keluarganya, mengabarkan cita-citanya melanjutkan kuliah ke Eropa tercapai sudah. Tapi ayah-ibu dan adik-adiknya keburu menghembuskan nafas terakhir empat tahun sebelumnya, ketika tsunami menyapu habis Banda Aceh. Saat itu Meutia selamat karena sedang kerja praktek di Pulau Sabang.

“Seandainya di alam sana ada telepon, e-mail, atau kantor pos sehingga saya dapat mengirimkan kabar pada mereka,” tulis lulusan Universitas Syiah Kuala itu dalam “Beasiswa Erasmus Mundus: The Stories Behind“. Sebagai penerima beasiswa dari Uni Eropa tersebut, ia berpindah empat kali saat menempuh studi master di bidang ilmu holtikultura. Semester pertama di Bologna, Italia; berikutnya di Munich, Jerman; semester ketiga di Wina, Austria, lantas semester terakhir kembali ke Bologna.

Berpindah negara adalah ciri khas Erasmus Mundus, yang dilansir Uni Eropa sejak 2004. Tiap penerima beasiswa akan belajar di setidaknya dua negara, tergantung program studinya.

Selain Meutia, 14 orang penerima beasiswa itu juga menceritakan pengalamannya dalam buku itu. Sebagai kumpulan kisah, cara penulisan dan isinya beragam, sehingga kadang terasa kagok saat berganti cerita.

Para alumni Erasmus Mundus menuliskan mulai dari perjalanan mengejar beasiswa, persiapan menjelang berangkat, gegar budaya saat tiba di Eropa, proses belajar di benua utara tersebut, hingga repotnya pindahan. Tak ketinggalan, tentu terpotret pula serunya jalan-jalan keliling Eropa serta pelajaran dan kawan yang didapat selama studi.

Efrian Muharrom, pria yang mengaku berasal dari desa di Jawa Barat, misalnya. Sejak kecil ia memendam keinginan untuk bertemu bule. Kelar jadi sarjana di Institut Pertanian Bogor, dia meraih beasiswa Erasmus Mundus untuk program master di sektor kehutanan. Programnya dikelola konsorsium tujuh perguruan tinggi di negara berbeda-beda.

Jadilah ia menjelajah tujuh negara untuk kuliah: Finlandia, Swedia, Belanda, Jerman, Perancis, Austria, dan Spanyol. Menyenangkan, meski tak mudah jika ada koper seberat 40 kilogram yang harus dibawa tiap pindah. Selama kuliah, pengalaman paling berkesan buatnya ialah saat ia mendapat kesempatan bertemu dan berdialog langsung dengan mantan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-bangsa Kofi Annan.

Dina Mardiana yang mengambil program sastra Eropa berkisah soal sulitnya beradaptasi dengan kuliah kaku ala Italia dan pergaulan bebas kawan-kawannya di sana. Eva Sulistiawaty membocorkan motivasi awal mendaftar master agrikultur: sekadar agar tak kalah bersaing dengan rival cintanya. Sedangkan Dwi Larasatie Nur Fibri, mahasiswi master teknologi pangan dan nutrisi, asyik bercerita tentang wisata kulinernya di Belgia, Portugal, Jerman, dan Perancis.

Tapi yang paling menohok adalah esai Anggiet Ariefanto, yang menempuh program master Network on Humanitarian Assistance. Ia mengaku sedih karena sedikit sekali mahasiswa Indonesia yang bisa mempromosikan negerinya. Anggiet berpendapat seharusnya tiap warga Indonesia mampu jadi duta bangsa. Setidaknya, tak cuma memakai baju batik tanpa bisa menjelaskan maknanya. Ia sendiri selalu membawa kostum tari ke mana-mana. Setiap ada di luar negeri, dia selalu menyempatkan diri jadi penari di acara lokal serta mengajar tari di Kedutaan Indonesia.

Anggiet mencatat ada beberapa kebiasaan buruk mahasiswa Indonesia yang menyebalkan dan semestinya dihilangkan. Pertama, kebiasaan menumpang makan tanpa membawa buah tangan dan tak membantu beres-beres seusai jamuan makan. Kedua, perasaan didiskriminasi di Eropa. “Kampus tidak libur saat Idul Fitri, tidak ada yang menegur saat pesta, dianggap bentuk diskriminasi,” katanya. Padahal, kecuali hari raya Kristen yang dianut mayoritas masyarakat Eropa, memang tak ada hari raya agama yang diliburkan pemerintah. Tak cuma Idul Fitri, tapi juga Waisak, Nyepi, Divali, dan sebagainya.

Ia menegaskan beasiswa adalah kesempatan melihat dunia luar, merasakan jadi minoritas, dan menjadi manusia mandiri. Maka ia selalu menghindar berinteraksi dengan komunitas Indonesia di luar negeri. “Karena ketika bertemu, kita kembali memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Bahkan acara pertemuan mahasiswa Indonesia malah seringkali jadi lahan beredarnya gosip,” tuturnya.

Buku ini tak disalurkan ke toko buku, namun hanya bisa dipesan melalui surat elektronik tanyatanyaem@gmail.com.

————————–

Entri ini adalah versi asli dari resensi buku yang naik cetak di Koran Tempo hari ini. Silakan klik gambar di atas atau link ini untuk membaca artikel yang telah disunting. Tulisan yang sama dengan suntingan sedikit berbeda muncul juga di bukunya.

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

4 Comments

  1. jempol deh buat Bunga ;). Makasih ya udah dibikinkan resensinya…

    • kembali, dina.. makin banyak ga pesanannya setelah resensinya nongol? hehehe

    • aslkm . Bpk/ Ibu, saya mahasiswa setemsr 3 fakultas pertanian .. maw tanya, batas akhir pndftran tgl brapa? sya kemaren tdak mengikuti briefing di rektorat . apakah saya bsa berpartisi[pasi untuk mengikuti program tersebut? terima kasih

      • Hai Faith,
        Kamu mahasiswa di perguruan tinggi apa? Untuk yang masih belum lulus, sepertinya Erasmus Mundus punya beberapa program pertukaran (exchange) di bawah “payung” action 2. Tapi, kamu harus berstatus mahasiswa di perguruan tinggi yang bekerja sama. Daftar programnya bisa dilihat di http://eacea.ec.europa.eu/erasmus_mundus/results_compendia/selected_projects_action_2_en.php — di daftar itu, Indonesia ada di nomor 9, 10, 12, 13. Klik pranala (link) tiap program untuk tahu perguruan tinggi Indonesia mana saja yang bekerja sama dan tata cara seleksinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *