“Selamat pagi semua.. Sekali lagi ingin ucapkan terimakasih banyak buat semua kerja keras,kerja baik dan kolektif bergerak bersama sehingga KAMI II bisa berjalan dan menghasilkan pemikiran hebat untuk banyak pihak.. Bangga sekali punya tim yang selalu bergerak dalam senyap namun penuh bobot bagi ekosistem musik, Sekali lagi Terimakasih Retha, Hafez, Bunga, Eki, Adisti, Angkin.. Selamat hari Minggu dan beristirahat .. Semesta memberkati semua🌹🌹🌹.”
— pesan dari Glenn Fredly di grup WhatsApp KAMI2019, 24 November 2019
Pagi itu saya tersenyum membaca pesan Glenn. Sehari sebelumnya, baru saja Koalisi Seni, Yayasan Ruma Beta, dan Dyandra Promosindo menggelar Konferensi Musik Indonesia yang kedua di Sabilulungan, Soreang. Penuh bongkar-pasang skenario, proses persiapan perhelatan itu sungguh menantang. Namun di akhir hari, kami semua senang.
Konferensi adalah titik puncak dari proses panjang yang saya ikuti sejak awal 2019, ketika bergabung dengan Koalisi Seni. Kami Musik Indonesia (KAMI) yang digagas Glenn bersama Koalisi Seni punya misi mulia: memajukan ekosistem musik Indonesia. Acara perdana KAMI adalah Konferensi Musik Indonesia di Ambon pada Maret 2018.
Februari 2019, datanglah tsunami RUU Permusikan. Perhatian orang tiba-tiba terbetot pada tata kelola dan kebebasan berekspresi dalam musik. Saya baru mengenal Glenn selama sebulan, tapi merasakan etos kerja dan kerendahhatiannya yang luar biasa. Sejumlah wawancara dengan media dia jalani, dan saya beruntung menemani. Saya menyaksikan betapa dia punya kualitas superstar: tak pernah menolak diajak berfoto bersama dengan segambreng awak media dan penggemarnya.
Kawan-kawan di Koalisi Seni sering berseloroh, perlu lebih banyak seniman seperti Kaka Bung, panggilan akrabnya. Tipe yang sudah “moksa” dengan keduniawian, punya misi untuk memperbaiki ekosistemnya, dan tidak ragu beraksi menggunakan sumber dayanya demi mencapai tujuannya.
Mengelola komunikasi untuk KAMI, saya relatif tak perlu khawatir soal mengundang media. Cukup memajang nama Glenn sebagai salah satu pembicara, banyak jurnalis akan datang dengan senang hati.
Menjelang konferensi di Soreang itu, Glenn maraton berkunjung ke sejumlah media. Salah satunya di Net TV, live di Tonight Show jam 9 malam.
Glenn diminta standby jam 8 untuk mulai latihan. Jam 8 kurang dia sudah sampai studio, tapi karena merasa kurang sehat, Glenn istirahat dulu di mobil. Sekitar jam 8.30 dia merapat ke studio, terlihat jelas Glenn belum sembuh betul. Suaranya agak serak. Tapi dia tetap latihan sebentar untuk jamming dengan Vincent dan Desta.
Begitu live, raut wajahnya berubah. Rupanya Glenn juga pandai berakting. Dia tertawa lepas saat menonton video klip parodi bikinan Net TV, juga menyanyikan “Anak Pantai” dengan baik ketika tiba segmennya.
Saat iklan, ia mampir ke ruang rias untuk istirahat. Kru Net TV malah pada minta foto bareng, sementara Glenn tetap tersenyum dan mengiyakan. Saya jadi nggak enak sendiri saat mencoba menghalau mereka.
Dengan segala rekam jejaknya sebagai musisi veteran, Glenn sangat rendah hati. Dia rajin mengucapkan kata-kata ajaib yang seharusnya juga kita biasakan: tolong, terima kasih, dan maaf.
Bahan bacaan Glenn sangat kaya – satu waktu ia menenteng buku Yuval Noah Harari ke ruang rapat, lalu menceritakan kekagumannya pada si penulis. “Ini orang gokil,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Binar mata itu juga sering muncul saat ide-ide liar Kaka Bung diceritakannya ke Regu Sekretariat Koalisi Seni. Biasanya kami kemudian mencoba menjinakkan keliaran itu dengan menerjemahkannya jadi hal yang realistis dilakukan. Glenn tidak pernah tersinggung, malah cenderung kompromistis dengan usulan kami.
COVID-19 lantas datang dan memaksa kita sebisa mungkin tinggal di rumah. 16 Maret 2020, Glenn menyapa lewat WA. Rupanya ia melakukannya juga dengan beberapa kawan di Koalisi Seni, mungkin dengan banyak orang di luar Koalisi Seni juga.
Tuhan sekarang jaga Kaka Bung. Sampai ketemu satu saat nanti, Bung Glenn.
Ira
turut berduka cita….
selamat Jalan Glenn Fredly :'(