Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin (seperti gaung)
di kota itu. Angka-angka telah lama tahu:
bayangku akan hilang sebelum salju
Sementara kau akan tetap jalan
(seperti kenyataan). Sampai pada giliran.
Mengaku, tiap kali daun jatuh di rambutmu:
“Ternyata kenangan hanya perkara yang lucu”
Tentu. Tidak apa. Kita tidak memilih acara.
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
akan terbiasa. Nasib telah begitu tertib.
Pada Lupa kita juga akan jadi karib
(GM, 1973. Puisi ini tidak ia beri judul)
———————————————————————–
Close-Reader Club
bila selesai saling baca?
mulutku membaca mulutmu
lebih dekat lagi,
lebih
mendekat
lagi
sehingga
dekat tak terhingga
dan mulutku mengucap mulutmu
mengucap kata satu.
(Hasan Aspahani, 2008)
—————————————————–
Kepada boneka porselen itu kukatakan:
“Aku mencintaimu
meski aku tahu
kau tak kekal.”
Tapi aku juga boneka porselen
di atas meja ruang tamu itu. Tuan rumah
yang menyuguhkan semah
barangkali akan menggeser kita ke tubir meja.
Seorang tamu,
bisa juga seekor kucing bandel,
lalu menyinggung kita.
Dan kita pecah di ubin, sama-sama.
Cintaku,
aku ingin kita mati seperti itu.
(Anton Septian, 2007)
Leave a Reply