Tawuran anak SMA — sekolah nggak bisa mendidik murid untuk tak mengandalkan kekerasan — anak SMA 6 mukul wartawan Trans TV — jurnalis demo lalu bentrok sama anak SMA 6 — polisi seperti biasa nggak berguna — seorang murid SMA 6 bangga mukulin wartawan, pamer di Twitter — kawan-kawannya di SMA 6 me-retweet kicauan itu — si murid plus kawan-kawan di-bully ratusan orang di Twitter — anak-anak SMA 6 itu jiper, gonta-ganti nama akun lalu menggemboknya — jurnalis menyiarkan soal gembar-gembor para murid termasuk identitas jelas mereka.
Begitu banyak hal dari rangkaian kejadian itu yang tampak salah dan superkonyol di mata saya, mungkin juga Anda. Salah satu yang menarik adalah, berita yang naik di banyak situs web online bukan saja bias memihak para jurnalis, tapi juga kemungkinan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) karena menyebutkan dengan terang identitas para murid SMA 6 itu.
Dalam KEJ pasal 5, disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Anak dalam pasal itu adalah orang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Nama akun Twitter memang bukan identitas, tapi dari situ mudah sekali melacak identitas itu.
Bagaimanapun, isu pelanggaran KEJ ini dibahas lain kali sajalah. Kali ini saya melepas baju sebagai jurnalis, mumpung lagi cuti dan kuliah, lantas memakai kostum sebagai narablog. Soalnya Kode Etik Narablog Indonesia tampaknya belum eksis, jadi saya lebih bisa ngomong sesuka hati meskipun bias, hahaha….
Saya ingat pernah membaca bahwa Twitter, di tangan orang yang salah, sama berbahayanya seperti memberi senjata otomatis kepada anak-anak. Artikel yang saya baca itu merujuk pada publisis dan pegiat hubungan masyarakat yang pusing tujuh keliling gara-gara kelakuan selebritas, dengan akun Twitter-nya, mudah sekali menghancurkan citra yang sebelumnya dibangun susah-payah.
Di era internet ini, once a piece of meat goes viral… wolves will tear it out mercilessly. Aduh maaf saya nggak berbahasa Indonesia yang benar, lagi nggak mood hahaha.
Dalam kasus ini, “the piece of meat” adalah seorang anak dengan kemampuan literasi informasi rendah — setidaknya, dia sama sekali tidak sadar konsekuensi hukum dari tindakannya berkicau di linimasanya. Letupan-letupannya di akun @Gilang_Perdanaa itu dicatat dan disiarkan (dengan sedikit sensor) oleh sebuah lapak berita daring:
“Gorasix all base vs wartawan t**.”
“Mampus mobil wartawan ancur lau ng***** t** lau a***** bikin rusuh aje lu!”
“Mahakam keras coy. Jangan ngusik kalo gak mau diusik, wartawan pun jadi korban.”
“Puas gua mukulin wartawan di jalur sampe bonjok2 emosi bet gua t**.”
Setidaknya dua kawannya, @afrarara dan @astridadriani, menyiarkan ulang kicauan si @Gilang_Perdanaa. Cuma perlu waktu singkat bagi kicauan-kicauan emosional itu untuk goes viral.
Para “aktivis dunia maya” lantas mengritik keras pernyataan-pernyataan itu. Entah jumlahnya berapa, tapi paling tidak ada ratusan orang. Sebagian memaki dengan kata-kata tidak sopan, entah serius atau bercanda. Mereka berkomentar di Twitter, Kaskus, Facebook. Mereka juga melacak profil @Gilang_Perdanaa di situs-situs jejaring sosial, mulai dari Facebook sampai Kaskus.
Dari pranala ke Facebook kita tahu wajah murid-murid SMA 6 itu: ya Tuhan, bocah-bocah! Dari akun Facebook Gilang, meskipun digembok, informasi yang disiarkannya untuk publik sungguh banyak. Kita bisa tahu nama lengkapnya, nama SMP-nya, bahwa ia sempat duduk di kelas IX-6 di SMP itu, pun fakta dia baru lulus SMP dan masuk SMA pada tahun ini. Kalau dihitung-hitung, umur murid kelas X itu paling baru 15 tahun. Kawannya Astrid dan Afra lebih cerdas karena tak memajang data pribadinya, walau fotonya tetap saja jelas.
Belakangan, setelah bullying di internet itu (saya merasa sedikit bersalah karena turut serta, dan entri blog ini mungkin tak memperbaiki keadaan), Gilang dan Astrid menggembok akun Twitter (artinya, cuma bisa diakses teman-temannya), serta berganti nama akun. Gilang melabeli diri sebagai @giper2k11, lalu @gilaaangsss, kemudian @slaayyyy, lantas sekarang entah apa lagi. Akun lamanya, @Gilang_Perdanaa, diambil alih oleh seseorang yang lain. Astrid beralih ke @cidcit. Sedangkan @afrarara pede bertahan membuka linimasanya tanpa mengubah namanya.
Yang mengerikan dari internet adalah data yang bisa ditambang dari arsip masa lalu. Baru saja saya menengok sebuah thread tentang kasus ini di Kaskus dan alamat Gilang dipublikasikan terang-terangan oleh salah satu Kaskuser!
Padahal, mungkin saja lho Gilang ini cuma besar omong di linimasanya dan nggak ikutan gebukin jurnalis sama sekali. Siapa yang tahu? Mungkin juga kalaupun dia betul ikut memukuli wartawan, sebagai anak-anak atau dengan koneksi orang tua dan duit, dia bisa bebas dari jerat hukum.
Yang jelas, kita (setidaknya saya) akan terus mengingatnya sebagai bocah pembuat blunder di dunia maya. Mengingatkan kita bahwa, meski Twitter berlambang burung dan tampak tak berbahaya, ia sebenarnya lebih mirip harimau yang bisa menerkam penggunanya kapan saja.
NB: Nemu blog anak SMA 6 yang menceritakan versinya tentang pemicu bentrokan kemarin: http://monkeydonkeyrules.blogspot.com/2011/09/sulutan-api-di-bumi-mahakam.html
———————
Screenshot twitter disalin dari http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/19/17574022/Gilang.Puas.Pukuli.Wartawan
ipam
hahaa..ternyata dari kemaren rame2 dibikin berita juga sama mba bunga.. =)
gilang, the most ababil of the year… =)
jempol deh buat mba Bunga & beritanya. 🙂
bunga
ahaha, bukan berita ini mah, opini aja soal betapa salah omong di internet itu makin berbahaya… 😀
okta
itu judul artikel blognya udah kayak wartawan kuning hahaha
okta
koreksi, judul artikel blog anak mahakam itu maksudnya
bunga
hoooo kirain lu tadi ngeledek judul blog gw, hiks
hindra
such a good thought, bung! salah satu komentar tweeps yg gw ingat: mahakam memang keras. Tapi twitter lbh keras, cuy! 😀
bunga
keras abiiiis… tapi kayak es batu, bisa mencair trus menguap kapan aja, hahaha