Warning: Illegal string offset 'caption' in /home/bngman32/public_html/wp-includes/media.php on line 2000
Warning: Cannot assign an empty string to a string offset in /home/bngman32/public_html/wp-includes/media.php on line 2000
(Versi yang sudah disunting dimuat di Tempo.co.)
Empat derajat Celcius. Suhu Berlin belum di bawah titik beku saat saya berkunjung November lalu. Tapi untuk orang yang puluhan tahun tinggal di daerah tropis, hawa terasa sangat dingin. Hembusan nafas hangat tiap orang yang lalu-lalang meninggalkan jejaknya di udara, perlahan lenyap diterjang angin.
Namun, suasana hangat meruap Berlin dan ratusan kota lainnya di Jerman. Pasar Natal bermunculan di sana-sini pada pekan pertama Advent, buka tiap hari atau tiap akhir pekan hingga Natal tiba. Beda kota, beda pula jumlah pasar yang disebut Weihnachtsmärkte atau Christkindlesmarkt itu. Mulai dari hanya satu di kota kecil, hingga 60 seperti di Berlin. Tiap pasar memiliki tema uniknya sendiri-sendiri. Di Berlin, pasar Natal yang saya datangi di Potsdamer Platz mengusung tema Winter Magic. Seluncuran es besar dibangun di sisi barat Platz. Anda bisa mencoba berseluncur dengan ban karet di sana jika mau membayar.
Tradisi pasar Natal di Jerman bisa dilacak hingga ke abad pertengahan. Pasar di Bautzen misalnya, dekat perbatasan Jerman dan Ceko, pertama menggelar Weihnachtsmärkte tahun 1384. Sedangkan Dresden memulainya pada 1434. Fitur utama pasar ialah Weihnachtskrippe atau diorama adegan kelahiran Yesus, pohon Natal yang megah, serta tentunya beragam gerai cinderamata khas Natal dari seantero Jerman. Hiasan pohon Natal, ukiran kayu, produk kulit, dan topi-topi cantik bertebaran.
Tapi perhatian saya — yang bertekad tak membeli barang apapun karena harus berhemat — tersedot ke kios minuman dan makanan. Gerai glühwein, bratwurst, dan currywurst biasanya paling dipadati pengunjung. Suhu dingin memang membuat orang tertarik menikmati ketiga sajian hangat tersebut.
Di pasar Natal Potsdamer Platz, Berlin, saya mencoba glühwein yang dibandrol harga 2,5 euro per gelas. Ramuan anggur merah plus kayu manis, vanilla, cengkeh, lemon, dan gula diedarkan dalam mug warna-warni atau gelas styrofoam. Pembeli bisa memilih gelas styrofoam, atau membayar deposit tambahan 2 euro untuk mendapatkannya dalam mug. Banyak orang tak mengambil depositnya karena ingin membawa pulang mug itu.
Saya dan seorang kawan, Nandyan, tidak memilih saat memesan. Ternyata, otomatis kami disodori gelas styrofoam yang tak ramah lingkungan. Tapi ya sudahlah, udara dingin Berlin membuat saya ingin segera mencicipi glühwein. Telapak tangan saya langsung terasa hangat saat memegang gelasnya. Uap panas mengepul. Perlahan, saya menyeruputnya. Rasanya agak asam sekaligus manis. Wangi rempah menguar dan membuat badan makin hangat. Nyaris tak ada rasa alkohol dalam glühwein, tampaknya muatan alkohol dari anggur merah sudah menguap ketika dipanaskan. Untuk yang ingin “tendangan” ekstra dari alkohol, ada pilihan untuk membeli glühwein dengan rum. Harganya 1 euro lebih mahal ketimbang versi orisinilnya.
Di sebelah gerai glühwein, kios sosis dijejali pelancong. Bratwurst, sosis khas Jerman, dipanggang lantas disajikan dalam roti a la hotdog, dengan saus tomat dan mustard. Sedangkan currywurst adalah sosis panggang yang dipotong-potong dan dituangi saus kari. Harga per porsi kedua hidangan sosis itu 2 euro. Meski baunya menggiurkan, kami tidak membelinya karena sosis di Jerman rata-rata merupakan campuran daging sapi dan babi, sementara kami bukan pemakan babi.
Kami memutuskan berkeliling pasar, melihat-lihat jajanan lain yang tak kalah menggoda iman dan dompet. Ada schokofruchte, buah-buahan yang dilapis coklat, berjajar di etalase kaca. Bukan cuma pisang, apel, dan strawberry, cabe berlapis coklat pun ada. Tak jauh dari situ ada kios yang menjual gebrannte mandeln alias almon panggang.
Sejurus kemudian, mata saya terpancang ke kios lain yang menjajakan schneebälle (“bola salju”), kudapan manis dari Rothenburg, kota berjarak 200 kilometer dari Berlin. Ini olahan tepung terigu yang dibentuk seperti bola sekepalan orang dewasa, digoreng, lantas ditaburi gula halus. Rasa dan teksturnya mirip lidah kucing. Variasi yang dipamerkan ada puluhan, mulai dari yang orisinil, berlapis coklat, bertabur kacang, sampai berselimut parutan kelapa. Harganya 2,5 – 3,5 euro per buah. Saya memilih bola salju berlapis coklat Cointreau, meski ternyata tak ada jejak rasa liqueur jeruk itu di dalamnya.
Pekan lalu, saya berkesempatan kembali ke Jerman, namun ke kota lain, yakni Köln atau Cologne. Di kota yang dibangun Romawi pada tahun 38 Sebelum Masehi itu, ada delapan Christkindlesmarkt. Saya mengunjungi tiga di antaranya — di dekat Katedral, di depan Museum Cokelat, dan di Alter Markt.
Pasar Natal dekat Katedral dijejali pengunjung, jauh lebih banyak daripada Weihnachtsmärkte di Potsdamer Platz. Letaknya yang pas di samping Katedral menarik pelancong yang niat awalnya mengunjungi gereja Gotik terbesar di Eropa itu. Apalagi di akhir pekan, memang lebih banyak orang mengunjungi Katedral Koln yang cantik dan dibangun selama lebih dari enam abad tersebut.
Di sana, saya kembali menyesap glühwein untuk menghangatkan diri. Maklum, suhu Koln saat itu cuma dua derajat Celcius. Saya juga mencicipi brezel, pretzel Jerman yang lebih besar dan empuk ketimbang versi Amerika Serikat.
Pasar Natal di depan Museum Coklat cuma saya hampiri sebentar seusai menjelajah museum. Di situ, ada pula kios yang menjual schokofrucht. Saya nyaris tergoda membeli topi, namun langsung sadar diri setelah melihat harganya yang puluhan euro, jauh dari jangkauan kantong cekak mahasiswa.
Perut keroncongan saya dan Gina, kawan kuliah yang hari itu berjalan bersama, terpuaskan di Christkindlesmarkt Alter Markt. Di pasar bertema Kurcaci itu, kami menemukan kios 1/2 Meter Fleisch Spiess yang menjual sate daging sepanjang setengah meter seharga 5 euro per tusuk.
Jangan bayangkan sate mungil ala Indonesia, daging yang ditusukkan ini lebarnya empat cm dan tebalnya dua cm. Kami harus menunggu 15 menit untuk satu sate kalkun (yang langsung tersedia cuma sate babi), tapi penantian itu tak sia-sia karena rasa kalkun itu superlezat. Dagingnya empuk, bumbunya meresap, aroma asapnya pas, ditambah saus cabe yang meski tak terlalu pedas, membuat rasa sate makin sedap. Faktor tak kalah penting ialah rasa lapar kami, tentu saja, yang selalu membuat makanan semakin enak.
Leave a Reply