Rencanaku mengoleksi cerita orang tua lewat wawancara sepanjang 2022-2023 gagal. Selepas dua sesi Zoom, Ibu ogah diwawancarai, sedangkan Ayah sudah menuliskan sendiri kisah hidupnya.
Gelombang tsunami kerja di kantorku juga membuat rencana ini makin terpinggirkan. Boro-boro menulis untuk blog, menulis untuk kantor saja aku sudah ngos-ngosan. Kalau ada waktu luang, rasanya lebih nikmat golar-goler sambil nonton drakor 😆
Saat sempat kembali ke Yogya untuk produksi video International Women’s Day, ayahku menunjukkan harta karun: setumpuk surat-surat orang tuaku pada dekade 1990-an. Kami memang sempat tinggal di kota berbeda beberapa tahun. Pada satu periode, aku dan ibuku di Jakarta, sedangkan ayahku di Ujung Pandang (sekarang: Makassar). Pada periode lain, aku dan ibuku di Yogyakarta, sedangkan ayahku di Dili, kemudian di Norwich.
Ayah bilang ada tumpukan surat lain yang lebih tua dan sempat ia kumpulkan, tapi bundelan surat itu belum bisa ditemukan lagi. Tak apa, surat-surat yang ada pun arsip berharga untuk keluarga.
Aku bawa mereka ke Depok, dengan niat akan segera memindai dan mengetikkan ulang isinya. “Segera” ini ternyata perlu berbulan-bulan, sampai 28 Desember 2023 saat hari kesekian cuti akhir tahun, barulah aku mewujudkan niat itu.
Sejauh ini, sudah dua set surat yang sempat aku pindai. Ngetiknya lumayan pegal juga. Nggak bisa pakai optical character recognition (OCR) karena kedua surat itu ditulis tangan. Tapi aku senang, karena bisa melanjutkan rencana mengawetkan cerita keluarga.
Yang lucu, karena pada masa itu surat perlu beberapa hari untuk sampai, kadang surat-surat mereka berselisih jalan. Misal, surat pertama dikirim Ayah tanggal sekian, surat kedua dikirim Ibu sehari sesudahnya. Surat ketiga, dikirim Ayah, menjawab pertanyaan Ibu di surat kedua. Sedangkan surat keempat, dikirim Ibu, menjawab pertanyaan Ayah di surat pertama.
Dalam arsip, ada lebih banyak surat dari Ayah ketimbang dari Ibu. Ini bisa berarti Ayah memang lebih banyak menulis surat, atau Ayah kurang rapi menyimpan surat dari Ibu. Nanti aku coba tanyakan pada mereka.
Kesan sekilas baca surat-surat mereka, kentara sekali Ayah sering kangen. Memang orangnya romantis dan melodramatis, jadi dia merasa sendirian dan kesepian. Sedangkan isi surat Ibu terkesan lebih pragmatis, soal urusan dan tantangan sehari-hari yang perlu segera diatasi. Mengingat kami tinggal di Jakarta dan Ibu punya beban ganda — dia harus bekerja di kantor dan juga mengurus aku — mungkin kangennya nggak sempat muncul banyak karena sudah terlalu sibuk.
Di sela-sela surat mereka berdua, ada juga surat yang aku dan nenekku tulis. Suratku ajaib isinya, aku bacanya geli sendiri — dalam satu surat aku pakai logat Betawi yang aduh aneh banget, dalam surat lain aku memasukkan naskah peraturan persewaan komik, dan dalam surat lainnya lagi aku membayangkan hotel yang Ayah tempati di Dili. Sementara itu, surat Mak Aji ditulis dengan tipografi rapi khas didikan kolonial Belanda: huruf kursif (bersambung) miring ke kanan. Isinya doa supaya Ayah sehat saat menempuh studi masternya.
Selain itu, ada pula kartu-kartu ucapan selamat ulang tahun. Dua di antaranya sama persis, aku berikan untuk Ibu dua tahun berturut-turut. Baru sadar sekarang bahwa dua kartu itu sama 👀
Jadi, apa saja isi surat-surat ini? Aku sedang menunggu kabar dari Ibu dan Ayah, bagian mana saja yang bisa dibagikan ke publik. Aku juga akan terus memindai surat-surat ini saat luang.
Kalau kamu ingin baca surat-surat harta karun kami, tunggu tanggal mainnya!
Leave a Reply