Saya, juga sebagian dari Anda, sejauh ini cukup beruntung untuk menikmati air bersih yang selalu ada, berlimpah ruah di sekitar kita. Perlu cuci tangan, cukup nyalakan keran, perlu mandi, ada air bergayung-gayung tersedia (atau nyalakan pancuran kalau tinggal di pemukiman yang lebih modern). Perlu minum, tinggal ambil di teko, dispenser, atau kalau sedang di luar rumah, beli saja air minum dalam kemasan.

Masalah kekeringan dan krisis air di bagian lainnya Indonesia, sesekali kita lihat kabarnya di media massa. Tapi bisa jadi karena kejadiannya berlangsung di tempat yang tak bisa kita lihat, tingkat kepedulian kita jadi rendah. Masalah air yang paling dekat dengan kelas menengah Jakarta mungkin cuma banjir dan akibat turunannya (baca: macet), yang keluhan tentangnya menyesaki linimasa media sosial tiap kali hujan deras usai mampir.

Jika Anda kebetulan mengangguk setuju sampai paragraf kedua tadi, mari syukuri dulu karena itu artinya menurut data Perserikatan Bangsa-bangsa pada 2013, kita termasuk 55% warga negara Indonesia yang punya akses ke air bersih dan sanitasi layak. Tapi masih ada 45% kawan sebangsa, setara sekitar 113 juta orang Indonesia, yang tidak seberuntung kita. Mungkin sudah saatnya kita keluar dari gelembung kenyamanan dan menyadari ada sederet permasalahan air yang menghadang Indonesia.

Mendaftar Masalah

Masalah pertama ialah kurangnya pasokan air. Pemicunya beragam, mulai dari kemarau panjang yang disebabkan perubahan iklim seperti kerap terjadi di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara, sampai ketimpangan akses air, seperti kejadian di Yogyakarta. Di kota tempat saya dibesarkan itu, warganya kesulitan air akibat menjamurnya hotel yang menyedot air tanah. Di sekitar satu hotel saja, ada 36 sumur warga jadi kering, sedangkan hotel itu dapat menghabiskan 380 liter air untuk merawat satu kamarnya. Jakarta pun ternyata dihantui ancaman soal pasokan air akibat kombinasi rusaknya infrastruktur air yang sudah tua, buruknya pengelolaan sumber dan pasokan air, sekaligus perubahan iklim. Privatisasi alias swastanisasi air serta ketidakmampuan Perusahaan Daerah Air Minum menghasilkan air bersih sesuai kebutuhan masyarakat menambah rumit ihwal pasokan ini.

Yang kedua, kalaupun pasokan air ada, kualitasnya belum tentu layak. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencatat kualitas air di kota besar Indonesia terus menurun. Penyebabnya, air dieksploitasi secara berlebihan, ditambah limbah rumah tangga dan industri yang mencemari sumber air.

Masih berkaitan dengan air ialah masalah sanitasi, yang hubungannya sangat erat dengan kuantitas dan kualitas air. Satu dari enam anak Indonesia tidak memiliki akses ke air minum yang aman, kunci tingginya faktor yang berkontribusi pada diare dan kematian anak. Riset Kesehatan Dasar 2007 melaporkan diare sebagai penyebab 31% kematian antara usia 1 bulan sampai satu tahun, dan 25 persen kematian anak berumur 1-4 tahun.

Adapun air minum dalam kemasan (AMDK), yang seolah menawarkan solusi praktis bagi orang macam saya yang terlalu malas memasak air sendiri atau kawan yang paranoid oleh kualitas air keran, sebetulnya justru menambah masalah. Sejatinya, kita tidak tahu apa betul kualitas AMDK setinggi yang dicantumkan. Belum lagi, proses produksi plastik kemasan dan distribusi AMDK memakan energi besar dan menimbulkan sampah plastik yang mencemari lingkungan. Terlebih, perusahaan besar AMDK adalah milik asing yang semakin menguras devisa kita.

Di luar semua itu, kita tahu banyak agensi donor dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan – beken dengan nama corporate social responsibility alias CSR – yang turun tangan mengurusi masalah air Indonesia. Pertanyaannya, apakah kegiatan mereka dilakukan  secara tulus dan sungguh-sungguh, hanya untuk pencitraan, atau untuk melayani agenda mereka? Pertanyaan ini wajar muncul jika perusahaan yang melakukannya sering dituding terlibat dalam masalah air. Pun, tak cuma orang yang terobsesi pada teori konspirasi yang bisa curiga ada agenda terselubung di balik kegiatan tersebut.

Jadi Bagian Dari Solusi

Setahun mungkin tak cukup untuk mendaftar semua masalah air di Indonesia yang sungguh kompleks dan saling terkait, lalu mendiskusikannya. Setahun lagi juga bisa jadi waktu yang kurang untuk mencari siapa biang keladinya. Sembari melakukan itu semua (kalau berminat dan punya energi cukup), atau daripada berputar-putar di sana, saya percaya kita semua bisa berperan dan menjadi bagian dari solusinya.

Jika meningkatkan kuantitas dan kualitas air adalah panggilan jiwa dan bidang keahlian Anda, ada baiknya bergabung dengan lembaga pemerintah ataupun organisasi non-pemerintah (ornop) yang berkutat di sektor tersebut. Kalau dengan berbagai alasan Anda tak percaya pada lembaga pemerintah tetapi tidak bisa beralih ke ornop yang bergerak di sektor air, masih ada banyak jalan lain. Misal, menjadi pendukung ornop dengan menyumbangkan uang, barang, maupun tenaga sebagai sukarelawan.

Tapi yang paling penting, dan semua orang bisa melakukannya, adalah – seklise apapun frase ini – mengubah perilaku mulai dari diri sendiri. Buat pemakaian air lebih efisien, semisal dengan mematikan keran saat menyikat gigi dan di sela-sela mencuci tangan, tepatnya saat kita menggosokkan sabun agar tangan bersih; juga ganti penyiraman tanaman dari selang air yang boros ke ceret penyiram. Cegah pencemaran air dengan tidak membuang sampah dan limbah ke sumber air, tidak buang air di sumber air, serta membangun septic tank cukup jauh dari sumber air bersih. Rawat lingkungan dan daya serap air di tanah dengan menanam pohon dan membuat lubang biopori. Tak kalah penting adalah mengurangi konsumsi AMDK dengan merebus air minum sendiri atau memasang filter air di rumah – tak perlu yang mahal, ilmu pembuatan filter air murah tersebar bebas di internet.

Selamat Hari Air. Semoga kita menjadi bagian dari solusi, bukan permasalahannya.

Tulisan ini dimuat oleh Rappler.
Foto disalin dari http://www.morguefile.com/archive/display/598074.

Komentar via Facebook | Facebook comments