Menyigi Institusi

Institusi, Dilihat Dari Mana?

Institusi, Dilihat Dari Mana?

Sore tadi saya bertemu dengan dosen pembimbing untuk konsultasi tentang esai mata kuliah Continuity, Change and the Politics of Institutional Reforms: Key Debates in Governance and Democracy. Mata kuliah ini saking kepanjangan judul, biasanya disebut pakai kodenya aja, 4133.

Ini mata kuliah Ilmu Politik yang menantang alias susaaaaah buat saya. Soalnya teoretis banget. Sementara saya sudah bertahun-tahun “membuang” teori dan jadi orang “biasa” yang superpragmatis. Dan saya.. nggak begitu suka sama ilmu politik (salah sendiri milih kuliah Governance & Democracy [G&D], huhuhu).

Lima kuliah pertama diisi dengan mempelajari institusionalisme, atawa ilmu yang berkutat menelaah institusi. Materi dimulai dengan institusionalisme “kuno” yang menelisik institusi resmi pemerintah. Lantas, fokus kuliah bergeser ke institusionalisme baru yang cenderung meminjam perspektif sosiologi untuk melihat institusi.

Sang dosen lumayan berbusa-busa (baca: ngomong buanyaaak) untuk menjelaskan empat varian institusionalisme baru itu. Yakni, Rational Choice Institutionalism (RCI), Normative Institutionalism (NI), Historical Institutionalism (HI), dan Constructive/Discursive Institutionalism (C/DI). Berhubung si dosen ini kalau ngomong kayak senapan mesin, supercepat, saya sering ketinggalan. Meleng dua menit aja, saya kehilangan banyak dari penjelasannya.

Beruntung ada Fajar, kawan sekelas yang bukan cuma paham tapi juga baik hati karena rela menjelaskan soal ragam institusionalisme itu dengan ilustrasi kontekstual buat mahasiswa Indonesia: kenapa milih makan mi goreng daripada mi rebus malam ini.

“Menurut RCI, gw milih makan indomie goreng daripada indomie rebus malam ini karena bisa lebih hemat dan indomie goreng ada promonya jadi harga lebih murah (logic of calculation).

Menurut HI, gw milih makan indomie karena gw gak punya duit (initial condition) dan pada suatu titik tertentu semua toko tutup (initial condition) dan toko yang buka cuma jual indomie goreng, akhirnya gw pilih indomie goreng untuk malam ini (locked in).

Menurut NI, gw makan indomie goreng, karena gw dibiasain (logic of appropriateness) di keluarga makan itu dan nilai-nilai dalam keluarga gw mengharuskan itu.

Menurut CI, gw milih mie goreng karena dulu (inget CI sama HI nyambung dalam hal sama2 memperhitungkan faktor masa lalu) gw kerja di Indofood (asumsi dasar CI, bahwa aktor memiliki hubungan terhadap struktur kekuasaan dan kepentingan tertentu). Dan gw milih mie goreng bukan karena toko tutup aja (path dependent) tapi karena mie rebus itu mereknya supermi bukan indomie. Bisa juga karena gw punya kesetiaan tertentu (interest) terhadap mie goreng merek indomie. Dalam hal ini, pilihan ke mie goreng secara sadar gw ambil (path shaping) karena gw punya kepentingan, loyalitas ato alasan lainnya (mis: nambah angka penjualan indomie). Lebih lanjut, pilihan subjektif gw terhadap indomie goreng akhirnya kembali menentukan pilihan gw di masa depan untuk selalu milih mie goreng (subjectivity becomes objectivity).”

Gila.. sangar ya penjelasannya! Dalam e-mail yang dia kirim itu, saya berasa dapat pencerahan, hahaha. Jadi itu toh maksud si dosen… *ketahuan ga baca literatur kuliah*

Eh.. saya ngelantur. Sampai mana tadi.. Oh ya, ketemu dosen. Saya bilang ingin bikin esai tentang kenapa Komisi Informasi Pusat nggak efektif dalam menjalankan tugasnya, nggak seperti seharusnya. Saya ingin pakai HI untuk membedah problem itu, dibantu CI supaya peran agen — dalam hal ini para pembuat Undang-undang, komisioner, dan aktor-aktris lainnya — bisa lebih dianalisis juga.

Setelah ngangguk-ngangguk, si dosen langsung nyengir lalu bilang, “Yang seharusnya? Kamu sudah membingkai problem dengan sudut pandang NI!”

Waduh, bener juga. Saya baru sadar seumur hidup sudah dicekoki kalau nggak RCI (bahwa manusia berpegang semata pada logika hitung-hitungan untung-rugi) ya NI (membandingkan “yang seharusnya” dengan “kenyataannya”), sih. Makanya saya berniat pakai HI dan CI sekalian biar membuka perspektif diri sendiri, hihihi.

Menurut sang dosen, RCI dan NI terlalu dangkal buat “kita di G&D” (widih! apa artinya dia pikir jurusan lain lebih dangkal? hehe) karena cuma melihat tarik-menarik antara teori (=yang seharusnya) dengan prakteknya (=kenyataan). “Kita harus melihat di balik sesuatu — dalam esaimu, Komisi itu — ada apa, apa yang membentuknya, prosesnya seperti apa, siapa yang menentukan, siapa yang bersuara dan siapa yang dibungkam, dan seterusnya,” katanya merepet.

Dia juga menekankan dalam HI dan CI banyak varian, saya harus memilih satu di antaranya untuk menganalisis masalah. Dalam esai, saya harus menjustifikasi pilihan teori itu.

Di luar dugaan saya, ternyata sesi konsultasi itu produktif. Tadinya saya khawatir ide saya bakal ditolak atau dirombak total. Tadinya saya agak cemas dia bakal menguliahi saya dengan jargon-jargon yang bakal makin bikin otak ini bingung. Ternyata 20 menit diskusi dengan sang dosen membuat kerangka esai lebih terang, bukan lebih gelap.

Pekerjaan rumah yang menyenangkan ini bakal membuat liburan saya makin seru… *sugesti diri*

gambar disalin dari http://static.guim.co.uk/sys-images/Guardian/Pix/pictures/2011/12/2/1322837788389/What-Im-really-thinking-t-007.jpg

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

2 Comments

  1. apraseno

    kesimpulannya, teman adalah dosen terbaik, kemudian kedua…indahnya berbagi…selamat belajar bung-ga (minjem ejaan anak lat-amerika)…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *