Setelah lima tahun, perjuangan Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (yayasan K.U.K.B.) kini mulai berbuah dengan kemenangan gugatan korban pembantaian Rawagede di pengadilan Belanda. Di balik itu, lembaga tersebut sesungguhnya memiliki masalah klasik: dana.
“Kami bergantung pada donatur,” ujar Ketua yayasan K.U.K.B. Jeffry M Pondaag saat saya temui di rumahnya di Heemskerk, Belanda, Senin, 26 September 2011 malam.
Lazimnya, selain merogoh dari kantung pengurus yayasan, ia juga sibuk bergerak mencari dana. Dari nomor rekening yang dipajang di situs webnya, www.kukb.nl, lembaga itu mendapat pula sejumlah sumbangan. Rencananya jika yayasan K.U.K.B. telah mendapat badan hukum di Indonesia, mereka juga akan membuat nomor rekening lokal yang bisa memudahkan warga Indonesia untuk menyumbang.
Meski tak mau menyebut jumlah totalnya, menurut Jeffry, perlu ongkos cukup banyak untuk membiayai proses gugatan pembantaian Rawagede. Antara lain, untuk membayar pengacara, penerjemah, dan memberangkatkan sejumlah keluarga korban Rawagede ke Belanda. Datangnya keluarga korban, tuturnya, sangat penting agar masyarakat Belanda melihat langsung wajah mereka, bukan cuma nama tanpa muka.
Pada Oktober 2009, salah satu penggugat kasus Rawagede, Saih bin Sakam (meninggal pada 7 Mei 2011), datang bersama Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman. Saih dan Sukarman bertandang ke parlemen Belanda dan salah satu Gymnasium (sekolah menengah) di Groningen. Kedatangan mereka diliput pula oleh NOS, stasiun televisi nasional di negeri kincir angin tersebut. Untuk menghemat dana, keduanya menginap di rumah Jeffry.
Masalah finansial lebih besar muncul menjelang sidang pembacaan pledoi pada Juni 2011. Pasalnya, K.U.K.B. ingin mendatangkan lima warga Rawagede ke Belanda. K.U.K.B. bisa mendapatkan diskon besar dari Garuda Indonesia untuk tiket pesawat mereka. Tapi hingga sehari menjelang keberangkatan, uang senilai 5.500 euro (Rp 66,7 juta) untuk tiket itu belum juga terkumpul. Untunglah ada dua kawan Jeffry, Petra Munneke dan Casper E Koning, keduanya orang Belanda, yang berbaik hati menyumbangkan uangnya di saat-saat terakhir. “Saya langsung buru-buru ke (bandara) Schiphol untuk membayarkan uangnya sebelum kantor Garuda tutup,” tuturnya.
Lewat lobi melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar RI di Belanda memudahkan beban yayasan itu dengan menyediakan akomodasi gratis bagi keluarga korban Rawagede. Pada 16-28 Juni 2011, mereka bisa gratis menginap di Wisma Indonesia di Wassenar. Hingga kini, hanya itu bantuan dari pemerintah Indonesia yang didapatkan yayasan.
K.U.K.B. sekarang memerlukan lebih banyak dana lagi karena sedang bersiap mengajukan gugatan penculikan warga Rawagede, dan pembantaian Westerling. Tapi Jeffry percaya, selama tujuannya baik, bantuan bakal datang di saat-saat tak terduga.
Batara R. Hutagalung
Mengenai berdirinya dan kegiatan KNPMBI dan KUKB, lihat weblog:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dan-kukb.html
Wawancara Batara Hutagalung dengan RM-Online, lihat
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/belanda-masih-perlakukan-indonesia.html
Salam,
Batara R. Hutagalung
bunga
Terima kasih infonya, Pak. Omong-omong, apakah KUKB Pak Batara ikutan melayangkan gugatan bersama korban Rawagede dan Yayasan K.U.K.B. di Belanda?