“Korupsi itu ibarat Coca-cola: siapa saja, di mana saja, kapan saja, bisa jadi pelaku atau korbannya.” — Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch, dalam sebuah diskusi kemarin (9/5) di Jakarta.
Entah sudah berapa juta kali kita mengeluhkan soal korupsi yang tampaknya begitu lekat dengan negeri. Wajar, karena kita memang korban dari kelakuan mereka menggangsir hak kita, baik dari menilep uang di sektor pendidikan dan kesehatan, atau menyabot perencanaan peraturan agar sesuai dengan kepentingan mereka.
13 tahun lewat dari reformasi 1998 dan korupsi tersebar ke penjuru Indonesia seiring dengan desentralisasi pemerintahan, belum lagi negeri ini dipimpin lelaki yang cuma bisa melontarkan slogan antikorupsi tanpa betul-betul melakukannya… semua borok Indonesia soal korupsi nggak bakal bisa habis ditulis dalam berjilid-jilid buku yang kemungkinan besar akan bikin saya, kamu, kita, mual untuk membacanya.
Tapi kita tahu kan, masalah apapun nggak akan hilang cuma dengan mengeluhkannya, apalagi dengan melarikan diri dari masalah itu. Kita harus punya keberanian untuk menghadapinya dan melangkah mengatasinya, sesederhana apapun langkahnya. Sama sederhananya dengan saya mengetikkan kata-kata lantas mengunggahnya di blog ini 🙂
Sendirian, saya, kamu, dia, cuma bisa melakukan sedikit hal. Tapi ramai-ramai, saya percaya kita mampu melakukan lebih banyak, lebih berarti. “Bersatu kita teguh bercerai kita kawin lagi runtuh” bukanlah pemeo kuno, tapi bertahan karena nyata adanya.
Makanya kita perlu mengumpulkan teman yang sama semangatnya untuk berbuat memperbaiki negeri. Makanya organisasi masyarakat sipil dengan semangat sama pun perlu berkumpul, berjejaring, dan saling membantu.
Saya senang bisa menyaksikan dan turut terlibat dalam proses berjejaring yang terjadi dua pekan lalu di Nairobi, Kenya, dalam Voices Against Corruption‘s 2nd Global Youth Against Corruption Network Forum. Judul acara yang bujugbuset panjang dan rasanya bolehlah kita singkat jadi GYAC saja, hehe.
Ini forum yang digagas World Bank Institute, pertama kali diadakan tahun lalu di Brussels, Belgia, bekerja sama dengan pemerintah Belgia, Jeunesses Musicale International, dan European Journalism Centre. Dari sekitar 50 peserta, proporsi kursi paling besar disediakan untuk aktivis antikorupsi. Tiga slot diberikan buat tiga band pemenang kompetisi musik antikorupsi Fairplay, dan delapan kursi lagi untuk jurnalis muda.
Saya beruntung lolos seleksi untuk ikut forum pertama, lalu melihat puluhan aktivis dengan semangat menyala dan aksi nyata berkumpul bersama. Waktu itu yang kental terasa adalah keinginan berbagi dan belajar.
Setahun kemudian, World Bank Institute menyediakan jauh lebih banyak kursi untuk peserta. Dari 145 partisipan, 18 orang di antaranya adalah “alumni” Brussels. Dan kali ini ada kawan seperjuangan dari Indonesia, penggagas clubSPEAK, siapa lagi kalau bukan Retha Dungga dari Transparency International Indonesia.
Perdebatan hangat sudah dimulai sebelum GYAC kedua. Mirip-mirip lagu Armada.. mau dibawa ke mana *mendadak nyanyi* forum itu.
Di hari pertama dan kedua GYAC, ada beberapa sesi saat diskusi dipecah dalam enam kelompok. Satu dari enam kelompok itu diberi nama “Strengthening Network” alias penguatan jejaring, dan jadi kelompok yang paling susah diberhentikan diskusinya. Kelompok ini bertugas merekomendasikan struktur organisasi, yang hasilnya dipresentasikan di depan semua peserta pada hari terakhir untuk dirembuk dan disepakati.
Masalahnya, dari sekitar 15 anggotanya, sebagian besar punya pendirian keras soal GYAC. Maxwell Ogaga dari AFRITAL, Tanzania, kelihatan lumayan kerepotan jadi fasilitator kelompok itu. Tiap anggota kelompok diberi kesempatan berpendapat, dan pendapat itu biasanya langsung ditanggapi jadi diskusinya melebar ke mana-mana 😀 Yah namanya anak muda yang semangat pol gitu…
Misi pertama adalah menentukan identitas dan tujuan organisasi. Ada yang ingin anggota baru harus bawa surat rekomendasi dari organisasinya, ada yang ingin keanggotaan diberikan pada organisasi, bukan individu; yang lain menolak usulan itu karena jejaring antikorupsi harus bersifat inklusif, bukannya eksklusif.
Kelompok itu sampai dapat julukan “Dewan Keamanan” — entah siapa yang pertama kali melontarkannya — gara-gara perdebatan yang panas nan tak berujung layaknya Dewan Keamanan PBB, hehehe. Hari kedua, di tengah debat alot tentang masa depan organisasi, tiba-tiba satu peserta tanya, “Memang apa visi dan misi kita?”
JRENG.
Semuanya baru sadar bahwa belum ada pembicaraan soal visi dan misi.. Diskusi beralih ke masalah visi-misi itu, dan tentu saja makan waktu ekstra.
Di hari terakhir, mereka mempresentasikan rekomendasinya di hadapan semua peserta, yang juga diberi kesempatan untuk memberikan masukan. Lebih banyak kepala, lebih banyak pendapat, lebih banyak lagi waktu yang diberikan. Sesi yang seharusnya berakhir jam 15.45 waktu Nairobi (empat jam lebih lambat dibanding Waktu Indonesia Barat), molor sampai lebih dari jam 5.
Saya super salut sama Emmanuel Sanyi, aktivis Local Youth Corner Cameroon, yang jadi moderator di sesi terakhir itu. Dua hari sebelumnya suaranya hilang karena flu, tapi mungkin karena saking semangatnya, suaranya kembali di hari ketiga 😀
Dengan sistematis dia menguraikan poin yang akan dibahas, membuka tiga kesempatan untuk masukan, juga menghitung suara kalau voting dilakukan. Akhirnya setelah diskusi super panjang, kami menyepakati identitas, tujuan, visi, misi, dan struktur organisasi jejaring ini. Catatannya ada dalam dokumen yang disusun Gina Romero dari OCASA, Kolombia, juga ada di entri blog ini.
Forum juga sepakat memilih delapan orang anggota Global Coordinating Board, semacam dewan yang nantinya bakal menentukan arah organisasi. Enam di antaranya perwakilan regional, satu koordinator sektor teknologi informasi, dan satu lagi jurnalis. Mengutip Sanyi, dengan duduk di Dewan, kawan-kawan itu mengambil resiko dicerca, dicela, dan dikoreksi oleh rekan lainnya di GYAC.
Dewan ini bisa dibilang didominasi kawan Filipina, karena wakil regional Asia Timur dan Pasifik, juga kursi TI dan jurnalis, kami serahkan pada mereka. Karena kami percaya pada mereka.. (dan juga sudah keburu sibuk dengan urusan lain hihihi)
World Bank Institute, seperti juga induknya, World Bank, sebetulnya bukanlah organisasi yang terkenal karena tata kelolanya yang baik.. Lumayan banyak organisasi masyarakat sipil yang mempertanyakan integritas lembaga itu.
Makanya, sejumlah kawan, termasuk Paula O’Mailey dari Transparency International, mengaku kaget karena ternyata bisa juga acara yang diorganisir World Bank Institute berjalan sangat demokratis.
Bagaimanapun, seperti yang dikatakan salah satu peserta, Felix Weth, masih banyak yang harus dilakukan GYAC. Antara lain, dengan mengajak kawan-kawan dari organisasi lain dan negara-negara lain yang juga tak kalah penting tapi belum bergabung — misal, Cina, India, Rusia, Amerika Serikat, serta deretan negara Eropa.
Karena kalau kita sendiri, mana mungkin bisa menghalau korupsi.
—————
Silakan baca blog Retha dan Felix untuk cerita lebih lanjut 🙂
Leave a Reply