“Mau nonton bola ya?” nyaris semua orang tanya begitu saat tahu saya akan pergi ke Rusia beberapa pekan lalu. Periode saya ke sana memang bertepatan dengan Piala Dunia 2018, momen penting untuk pegiat dan pecinta sepak bola.
Sambil nyengir, kalau lagi banyak waktu saya akan jawab, “Nggak, pengen jalan-jalan aja sambil gangguin suami.”
Suami tercinta, sebagai satu-satunya jurnalis yang fasih berbahasa Rusia sekaligus pernah bertugas meliput sepak bola di kantornya, memang dikirim ke Rusia untuk meliput Piala Dunia. Sekitar lima minggu dia di sana, membanting tulang (#hiperbolis) berkelana di empat kota untuk menuliskan berbagai cerita human interest terkait serba-serbi Piala Dunia. Kalau straight news tentang pertandingan sih kantornya bisa ambil dengan mudah dari kantor berita internasional.
Kebetulan, kontrak kerja saya setelah mengabdi nyaris empat tahun baru saja selesai pada 2 Juni 2018, jadi saya pengangguran banyak acara berkesempatan ikut ke Rusia. Hasrat hati sih tentu ingin ikut penuh selama lima pekan, apa daya ngayal babu harus dihadapkan dengan realitas 1) duitnya nggak cukup diprioritaskan untuk hal yang lebih penting, dan 2) nggak tega meninggalkan bocah di tanah air terlalu lama, karena ini pertama kalinya dia ditinggal oleh kedua orang tuanya – biasanya Yoga dan saya bergantian kalau perlu dinas luar kota, belum pernah kami berdua sama-sama pergi.
Cukup banyak alasan saya tidak mengajak anak ke Rusia. Biasanya sampai berbusa-busa nih jelasinnya kalau ada yang nanya.
Pertama-tama, emang situ mau ngongkosin tiket pesawatnya? Kalau mau sih boleh aja. Udahlah musim panas yang peak season, ada Piala Dunia pula, itu harga tiket buat satu orang aja lumayan sukses bikin saya pengen jadi selebgram syantik penuh endorse-an. Kalau nggak ada retention fee dari hasil kerja rodi dari kantor lama pun saya nggak bakal beli tiket pesawatnya 😰
Kedua, Rusia jauh, sekali jalan transitnya dua kali, durasi penerbangan dan transit pun lama sekali (rute pergi: Cengkareng-Bangkok 3,5 jam, transit 13 jam, Bangkok-Moskow 10 jam, transit 6 jam, Moskow-Kazan 1,5 jam; rute pulang: St. Petersburg-Moskow 1,5 jam, transit 4 jam, Moskow-Hong Kong 7 jam, transit 7 jam, Hong Kong-Cengkareng 5 jam). Saya nggak punya nyali untuk mengurus anak sendirian selama itu, apalagi faktanya saya kalah jauh dari suami soal ketelatenan mengasuh anak kami.
Ketiga, ini kata ibu saya nih, ”Umur tiga tahun mah anak nggak bakal inget soal jalan-jalannya ke mana aja. Nanti diajak pas udah gedean aja.” Sebagai anak yang baik, harus menuruti saran ibu, yekan?
Keempat, dan jujur saja ini alasan utamanya, saya perlu me time plus waktu berduaan dengan suami. Salah satu efek samping jadi anak tunggal adalah kecanduan me time, sedangkan me time yang betulan liburan sendirian terakhir kali saya rasakan tahun 2013 setelah kelar belajar di benua biru. Dalam liburan kali ini, me time saya dapatkan saat perjalanan ke dan dari Rusia. Adapun libur berdua dengan suami itu terakhir tahun 2014, sepekan leyeh-leyeh di Gili Trawangan.
Mumpung ada waktu, ada dana, serta ada nenek yang rela dititipin cucunya, maka, saya bulatkan tekad untuk ke Rusia selama enam hari (perjalanannya makan waktu empat hari, jadi total jenderal saya meninggalkan nusantara tercinta sepanjang sepuluh hari).
Cerita lebih lengkapnya akan saya bagi secara bertahap di blog ini. Baru intro aja udah panjang banget soalnya hahaha. Nanti silakan klik tag “main ke Rusia” untuk baca-baca cerita saya ya, semoga cukup berfaedah. Kalau nggak berfaedah ya mohon maaf. Hidup ini memang tak sempurna, sama tidak sempurnanya seperti foto di atas yang semoga tak membuat kalian langsung kabur karena melihat sepasang anak manusia tanpa MUA, pengarah gaya, dan fotografer profesional~~
Stay tuned!
bunga
Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Ayo terus berusaha! Pemerintah Rusia juga rajin kasih beasiswa lho, dan peluang mendapatkannya lumayan besar karena peminatnya tak sebanyak negara-negara yang menawarkan program studi berbahasa Inggris.