Usia ibu tercinta hari ini tepat 54 tahun. Dia manusia paling berjasa dalam hidup saya: bukan cuma mengandung, melahirkan, dan menyusui, tapi juga menghabiskan nyaris separuh hidupnya untuk mengurusi dan mendidik saya.
Jauh berbeda dengan ayah yang lebih sering lenyap ketimbang muncul gara-gara kesibukannya, ibu hampir selalu ada di samping saya. Dia orang yang paling mengerti saya. Bisa dikata mustahil bagi saya untuk membohonginya, yang sudah hafal mati arti gestur dan nada suara saya.
Ibu tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan (dan memang tak mencoba menyembunyikan) perasaannya di wajahnya. Kalau dia senang, mukanya cerah, kalau dia kesal, ya mukanya langsung masam. Wajah kami tidak mirip dan sepakat bahwa orang yang bilang kami mirip itu bohong besar dan cuma basa-basi, tapi saya banyak meniru selera makannya: doyan yang pedas, asin, dan asam.
Seperti keluarga besarnya, ibu suka bercanda dan senang tertawa lepas. Kalau lagi heboh, ketawanya bisa sampai air mata menggenang gara-gara terpingkal-pingkal. Agak bahaya kalau berlebihan, karena bisa bikin bengeknya kambuh.
Ibu orang yang hebat karena bisa melahirkan saya dengan normal dan lancar meski ayah sibuk di Cornell, tak ada di hari-hari penting itu. “Karena sampai hamil besar rajin naik-turun bis dari rumah ke kantor,” kata ibu.
Akibat pengalamannya itu, dia paling kesal kalau ada perempuan hamil yang rewel dan manja. Ibu pasti bilang, “Halah, ibu dulu nggak ada ayah aja bisa kok, mereka udah untung ada suaminya.” Meski sembari nyengir kuda saya berkata dalam hati, yaaaah nggak bisa disamain atuh bu… 😀
Ibu saya jagoan mengepak barang. Maklum, kami kontraktor alias ngontrak rumah melulu sampai belasan kali pindah. Baru tahun 1998 kami menempati rumah sendiri — yang dibangun bertahun-tahun karena menyesuaikan anggaran mepet — di Madukismo, Bantul. Sampai sekarang pun ayah beberapa kali pindah tempat tinggal di Jakarta, dan kami masih mengandalkan ibu untuk pindahan.
Saat ayah kuliah lagi ke Inggris di tahun 1990-an, ibu di Jogja juga yang susah payah menjaga dapur tetap ngebul dengan jualan batik. Saya masih ingat menemaninya berkali-kali menyetir Jogja-Solo dengan mobil Suzuki Katana putih berpelat AB 7428 FE. Di Solo, sekali kunjungan ibu pergi ke dua sampai tiga bakul batik, memilih sejumlah kain batik dan pakaian jadi untuk dijual lagi.
Saat ibu berjualan, saya sering dengan sok tahunya ikut menawarkan batik pada para pelanggan. Bocah SD kok ya tahu-tahunya tentang kain bahan georgette, sutra krep, sutra super, batik cap dan batik tulis (proses ini agaknya muasal kenapa saya cinta batik 🙂 ). Maksudnya sih membantu, tapi seringnya mungkin bikin ribet ya, hahaha.
Ibu pun mengambil pakaian dari beberapa toko di Mangga Dua, sistemnya konsinyasi alias baru bayar kalau barang laku. Batik dan pakaian itu tidak cuma dijual di Jogja, tapi juga ke beberapa kota di luar Jawa.
Sempat juga ibu menjahit dan menjual seprai untuk hotel melati kawannya. Kadang sedih juga melihat dia sibuk menjahit dan membenamkan diri di antara nota-nota sampai larut malam.
Selepas ayah kelar kuliah dan kembali bekerja di Jogja, himpitan buat ibu mulai terangkat. Ibu memutuskan berhenti berjualan, karena sudah nggak butuh-butuh amat katanya 😀 “Kan ibu mah bakat ku butuh (bakat jualan karena perlu),” ucapnya sekali waktu.
Ibu lantas menjadi konselor keluarga berencana. Pulang sekolah, saya sering mampir ke ruang kerjanya, duduk di kursi pojok baca komik, sembari samar-samar terdengar ibu menjelaskan pada klien tentang pembuahan dan kehamilan, atau nada suaranya yang naik saat si pasien kok tak memakai KB dengan benar.
Satu yang paling saya ingat, ia selalu menyarankan vasektomi untuk si suami, terutama kalau anak mereka sudah cukup banyak dan tak berencana lagi punya anak. Saya ingat pengen ngakak tiap melihat wajah suami-suami yang ketakutan saat ibu menyebut kata vasektomi. Dikira mau dikebiri apa ya?
Lalu argumen ibu selalu sama, “Vasektomi itu cuma perlu beberapa menit, bukan operasi, jadi tidak harus dilakukan dokter. Vasektomi tidak sakit dan malah lebih efektif daripada kalau istri yang pasang spiral (alat kontrasepsi dalam rahim/Intra-Uterine Device). Pemasangan spiral itu sulit, jadi tindakan harus dilakukan dokter, juga pasien akan merasa sakit, dan bisa jebol pula.”
Saat ayah “mengamen” ke Jakarta, ibu akhirnya melepas kerjanya untuk mengurusi perpindahan dan segala macam tetek-bengeknya.
Lebih dari 24 tahun, hampir tiap hari saya bertemu ibu. Saya tahu dia merasa kehilangan dan kesepian saat saya lantas ikut mengamen pula ke rimba raya ibukota sejak 2008.
Tapi saya tahu, dia tahu saya cinta dia. Hahaha.
Selamat ulang tahun, ibu tersayang. Semoga makin hari makin bahagia dan dilimpahi cinta. Peluk kecup hangat dari Jakarta..
Harri
like this.
salam kenal ya
*salaman*
bunga
makasih.. salam kenal juga 😀
*sisiran dulu*
*salaman*
nurul
Aaah… jadi kangen tante Reniiiii :*
bunga
lagi di Jakarta lho dia sekarang 🙂